Pagi datang begitu cepat menjamu para insan bumi memeluk surya mentari yang hangat, tak kalah hangatnya dengan pelukan rembulan yang bersinar memenuhi nafsu dan cinta orang orang kesepian di atas bukit kegelisahan, satu sisi dari mereka merindukan kemegahan duniawi, cita rasa yang agung, dan pengampunan sebuah dosa, orang orang tersebut memang sudah terpaksa terjerumus dalam pilihan yang sulit, dunia memilih mereka bukan untuk menjadi pelayan sedemikian hal tersebut dibantah mentah oleh sebagian orang, mereka adalah penemu dan pencipta bagi segala, bukan orang yang dilahirkan sia sia.
Tak lepas dari perkara
mudah tentang sebagian orang yang memiliki masalah, saya menggambarkan
segelintir masalah di dusun dusun terpencil, apa yang saya ceritakan hal yang
sangat tabu, sensitif, dan pastinya pergolakan jiwa dan raga, sekelumit kecil
atau besar memang sudah menjadi dinamika kehidupan tentang orang orang yang
mempunyai batasan dan kemampuan berbeda beda.
Salah satu pesona
sebuah desa adalah pemandangan indah dan alam yang masih alami, pembangunan
modern masih jarang terlihat, mereka mengembangkan pertanian dan peternakan
sebagai ladang pekerjaan untuk meraup untung, memang hasilnya sangat maksimal
dengan di distribusikan ke kota kota secara rutin, mereka bisa menghidupi
keluarga serta menghidupi usaha.
Ada lagi selain pesona
alam, daya tarik gadis gadis desa pun mempunyai nilai tambahan, mereka ayu,
mereka cantik tanpa polesan, mereka seperti menarik yang melihatnya untuk teduh
di sampingnya, apalagi gadis desa tak kalah dengan artis artis ibukota yang
mengandalkan keseksian dan modal nekat.
Sambil saya mengingat
ingat cerita, ada kesulitan saya menghidupi sebuah tokoh tokoh didalamnya,
sebut saja Darsih seorang ibu muda yang sudah lama ditinggal suaminya karena tergoda
janda kaya setengah baya yang haus belaian laki laki dan rela menghidupi mantan
ayahku yang kere, memang ayahku tampan, janda tersebut tergila gila.
Anak sulung Darsih
bernama rani terlihat polos tapi keras kepala. Hidup dengan segala keterbatasan
di desa, Darsih masih muda, cantik serta, montok, tak heran kepala desa
mengincar. Sementara rani menjadi anak muda bersama gejolak gejolak yang
membara, dalam transisi yang begitu rumit.
Darsih merupakan petani
yang bekerja di lumbung padi milik Hj Sosih, upah yang diterima hanya sedikit,
meskipun sedikit Darsih mampu membiyai rani hanya sampai Smp, kemudian Rani
hanya membatu ibunya di rumah, Rani mencoba mencari pekerjaan setamat Smp,
namun peluang pekerja di desa tidak banyak, Rani mencoba ingin membantu ibunya
di lumbung padi, namun Darsih melarangnya, entah kenapa Darsih melarangnya,
tetap Rani yang keras kepala memakasa ibunya untuk bekerja disana, Rani tidak
kerasan hanya di rumah, dia ingin jadi bagian.
Hari hari mereka penuh
dengan pertengkaran, rani yang keras kepala, dan darsih yang putus asa, mereka
terus berbeda pendapat, namun seorang Ibu pasti ingin memberikan yang terbaik
bagi anaknya, sepertinya Darsih terlalu kolot, jika dia ingin membuat Rani
hanya menjadi seorang pembantu, lebih baik tak usah dia sekolahkan sampai Smp,
Sd saja cukup dan tanpa keluar biaya, Rani menatap Darsih sangat bermakna, jika
dia tidak diperbolehkan bekerja, maka kawinkan saja Rani dengan orang kaya, dia
mengancam.
Darsih yang lunglai
mulai bekerja, wajahnya muram tidak bisa disimpan, memikirkan anaknya yang
begitu lantang kepadanya, jika teringat kembali anaknya wajah kembali muram. Disela
waktu Hj Sosih melihat anak buahnya berbeda, dia mencoba dekati Darsih
menanyakan sesuatu, Hj Sosih yang sudah tua tersebut mendengarkan keluhan
keluhan Darsih secara sabar, tentang dia dan anaknya, semoga Hj Sosih menemukan
jalan keluar atas masalah anak dan ibu tersebut.
Hj sosih mengenalkan
rekan kerjanya dari Jakarta kepada Darsih, Lelaki ini sudah lama ingin
berkenalan dengan Darsih namun dia sering bertanya Tanya pada Hj Sosih
bagaimana awal awalnya berkenalan. Lelaki ini bernama Suratman, seorang yang
mapan, pekerja keras, ramah, dan penyayang, namun kehidupan cintanya kandas
karena keegoisan masing masing pasangan, sudah lama sekali Suratman nakasir dengan
Darsih, dia berkata pada Hj Sosih bahwa dari sekian pekerja di lumbung padi
hanya Darsih yang membuatnya tergila gila, Suratman menilai Darsih mempunyai
kulit yang bersih, wajah yang berseri, dan sosok yang menggagumkan, tak pantas
rasanya dia hanya jadi pekerja lumbung padi.
Darsih yang pemalu
hanya tersenyum senyum saat berkenalan dengan Suratman, ditambah percakapan
percakapan standar antar keduanya, Suratman makin tergila gila saat berdekatan
dengan Darsih, siang itu mereka larut dalam suasana.
Rani juga remaja yang
tak kalah cantiknya dengan sosok Darsih, banyak pemuda desa yang menggodanya
jika melihat Rani berjalan membeli kebutuhan pokok di pasar, ada seorang pemuda
desa luntang lantung menggilainya, Jalil namanya, rani juga tahu Jalillah yang
rutin mengodanya kalau dia sedang berjalan sendiri, namun Rani mengangagapnya
hanya kafilah yang berlalu, bukan Kriteria Rani, pemuda kampung tersebut
hanyalah membuang waktu saja.
Sepertinya Suratman
tahu bahwa Darsih seorang janda, makinlah dia menggila, angan dia ingin segera
melamar Darsih, dan membawanya hidup bersama di Jakarta, mengurusnya dan
menjaganya, Suratman belum tahu bahwa Darsih mempunyai anak perempuan, tak tahu
bagaimana perasaan Rani jika Darsih menikah dengan Suratman, dan pertanyaannya
bisakah dia menerima Suratman dan anaknya tersebut, dan begitu juga Suratman
mampu menerima keluarga barunya.
Suatu hari Suratman
memberanikan diri untuk berkunjung ke rumah Darsih, dengan alasan silaturahmi,
tapi sesungguhnya dengan maksud lain, rindu di hati tak bisa ditahan, sampailah
Suratman di rumah bilik milik Darsih dan Anaknya, dengan wajah sumeringah, Suratman
memberi salam, sehingga Darsih mendekati suara, ditemukanlah Suratman dengan
beberapa kantong makanan dan buah buahan yang dijinjingnya.
Darsih bercakap dengan Suratman
di dalam rumah, mereka saling akrab, rasanya Darsih juga ada perasaan dengannya,
Darsih yang kesepian dan putus asa akan kehidupan beserta anaknya perlu seorang
lelaki untuk membantu dalam masalah kecil atau besar, apalagi lelaki itu punya
duit, maka tidak ada masalah jika duit sudah lebih jadi seorang teman, seperti
hubungan suami dan istri lebih tepatnya.
Rani menemukan ibunya
sedang bercengkrama dengan lelaki asing, dengan rasa penasaran yang besar, Rani
menengok tajam di balik bilik bambu, mendengar ucapaan, candaan dan lain hal,
dia seoperti tertarik mendegar, tak ada yang bisa dia lakukan selain menguntit
pembicaaan orangtuanya.
Hari sudah mulai malam,
rembulan meninggi, mengakhiri pembicaan mereka berdua, terlihat dari gelagat Suratman,
dia masih ingin lama menatap wajah Darsih yang ayu, jikalau masih ada
kesempatan, mungkin Suratman nekat mencium bibirnya, meraba raba, sejenak
pikiran terlintas hingga terlalu jauh, sebagai Lelaki yang sudah lama tidak
mendapat belaian seorang wanita.
Suratman sudah pergi,
wajah Darsih berubah sendu, tiba tiba dia terpikir anaknya, belum kelihatan
dari tadi siang, dia mencari Anaknya sampai halaman belakang, tidak menemukan
apapun, semakinlah seorang Ibu berpikir macam macam.
Rani datang larut malam
dengan wajah diam, tak bicara apapun, ibunya yang memaksa bicara, semakin rani
kesal, dengan cepat masuk ke kamar tidurnya, menutup pintu dengan keras,
lantaslah Darsih semakin berpikir macam macam, malam itu mereka berdua akhirnya
berdebat tentang laki laki asing yang makmur tersebut.
Ayam berkokok memanggil
matahari agar menaiki kursi kerajaannya, tubuh tubuh layu terbangun dengan
bekas air mata, mereka saling tak mau bicara, saling menghindar, namun ruang
untuk mengindar tidak luas untuk rumah seukuran itu, seperti keduanya
bersikukuh menolah untuk harmonis kembali, bersikap teguh dengan pendiriannya.
Suratman berbicara dengan
Hj Sosih sangat pribadi sekali, membujuk Darsih agar mau menerima lamarannya, Suratman
menyatakan kepada Hj Sosih bahwa dia jatuh cinta terlalu dalam kepada Darsih, Hj
Sosih hanya menggeleng geleng kepala, “tumben kamu suka perempuan kampung”,
ujar Hj Sosih, “yang ini beda, tidak seperti biasanya” balas Suratman, “memang
bedanya dimana ? “ , “ah Pa Haji sudah tua gak bisa menilai”. Dengan berbagai
kompromi beserta rayuan rayuan, Hj Sosih akhirnya menyetujui untuk berbicara
langsung kepada Darsih, nantinya Hj Sosih sebagai wali orang tua dalam lamaran
tersebut, sebenarnya orang tua Suratman bekerja di Belanda, mereka pulang
setahun sekali, Suratman dengan senang mendengar Hj Sosih menyetujuinya, dengan
begitu Suratman memberi arahan kembali ibarat Gladiresik, saat menyatakan
lamaran Hj sosih wajib mengumbar Suratman sebagai calon suami yang baik agar
calon istri semakin yakin , Hj Sosih kembali geleng geleng kepala.
Hari yang ditunggu
telah tiba, Hj Sosih dan Suratman menuju rumah Darsih di hari minggu yang
cerah, Darsih kaget dengan kehadiran Hj Sosih bos-nya itu, dengan langsung kearah
tujuan, Hj Sosih seraya wali orang tua Suratman, segera ingin melamar Darsih
sebagi calon istri Suratman, mendengar hal tersebut, Darsih lantas berubah, air
mukanya lebih gamang dari sebelumnya, apa yang dimaksud Hj Sosih hanya becanda
atau tantangan saja. Mungkin Darsih bermimpi siang itu.
Suratman angkat bicara
“iya Aku ingin melamar dek Darsih, karena Aku jatuh cinta sama Dek Darsih saat
pandangan pertama”, Darsih menjawab dengan lugu “Saya wanita kampung mas, gak
punya pendidikan, gak layak sama Lelaki yang sudah mapan seperti Mas Suratman”,
balas Darsih “ saya gak ngeliat dari itu, saya liat di diri kamu, kamu orang
baik dan gak neko neko”, Darsih hanya tersenyum malu malu dipuji Suratman.
Darsih menanyakan dulu
kepada anaknya tentang lamaran ini, Darsih harus berdiskusi dengan anaknya,
tiba tiba Suratman angkat bicara lagi, yang ini Suratman seperti memaksa
jawaban “jadi lamaran ini bagaimana ?, diterima ??”, Darsih hanya tersenyum
lalu berkata “nanti Mas saya kasih jawaban saat saya sudah berdiskusi dengan
anak saya”, suratman harus lebih sabar menahan besarnya cinta kepada Darsih,
akhirnya Suratman dan Hj Sosih pulang dengan jawaban sebuah lamaran yang belum
pasti. Kepala desa yang naksir Darsih mendengar lamaran tersebut, hati Kepala
Desa menjadi lebur, hancur bersama angannya, kalau ditanding dengan Suratman,
dia bakal kalah, ya sudah Kepala Desa merelakan saja.
Darsih menghapus ego
untuk berbibaca kepada rani, “Ran, Ibu mau ngomong sebentar” terlihat Rani
memalingkan muka, “Ran, Ibu perlu kamu untuk hal ini” akhirnya hati Rani
tersentuh utnuk mendengar keluhan Ibunya, mereka berdua akrab kembali, “kemarin
Mas Suratman, yang kamu anggap Lelaki asing itu melamar ibu,” tukas Darsih,
“apa dia melamar ibu, apa dia serius bu”, balas rani, “kelihatanya maksudnya
serius, dia juga membawa Hj Sosih untuk menjadi Wali”. Wajah rani membingung, “jika
ibu menerima lamarannya, kita akan dibawanya tinggal bersamanya di Jakarta”.
Pergolakan di hati Rani
dimulai dengan bertanya tanya, pemikiran Rani tentang seorang yang baru
dikenal, tiba tiba melamar ibunya apakah bisa dipertanggung jawabkan, hati ke
hati dipertanyakan, rani memulai berbica pada Darsih, “apakah ibu mencintainya
?”, dengan wajah merah merona malu malu, Darsih menjawab suka pada Suratman,
rani mulai berpikir apakah ibunya di pelet, namun selintas rani memikirkan
kehidupan keduanya, apakah sudah baik, lebih baik, atau kurang baik seperti
halnya masa depan Rani seniri. Lamaran Lelaki itu memberi jalan keluar kepada Keluarga.
Lamaran Suratman
akhirnya diterima Darsih, dengan persetujuan Rani pula, dengan ikhlas dia
memberikan ibunya kepada pelukan lelaki asing baginya, dan rani harus rela
memanggilnya dengan sebutan Ayah walaupun dia belum tahu, apa dia seorang Ayah
yang baik.
Pernikahan terbesar
diadakan di kampung Darsih, semua orang memberi selamat, semua orang berkata Darsih
orang yang paling beruntung, hidup pastinya enak kepenak dengan harta suaminya
dimana mana, disana terlihat Kepala Desa yang masam saja seharian.
Memang Mas Suratman
sangat mencintai Darsih sepenuh hati, setelah pernikahan kehidupan keluarga
kita lebih baik malahan sangat lebih baik, Tanggung jawab moril dan imoril
untuk Darsih dan Rani semua terpenuhi. Ibuku bergaul dengan ibu kompleks yang
kaya raya namun agaknya masih kagok, mereka sangat menghormati ibuku,mungkin
karena hartanya melebihi mereka, orang orang kota lebih menghargai orang kaya
ketimbang orang miskin. Hidupku juga lebih baik, aku meneruskan Sekolah,
memakai pakaian bagus, makan makanan enak setiap hari, aku juga dihormati
karena anak seorang pengusaha. Mereka jauh lebih menghormati bergelimang materi
dari pada manusia. Wajah orang orang kota serupanya seperti tersebut, namun
hati rani masih bertaruh, apakah kebahagiaan ini akan kekal.
Ibuku akhirnya hamil
dalam waktu kurang lebih 3 bulan, Ayahku senang mendengarnya, Ayahku membuat Ibu
spesial, Bayi yang dikandung buah cinta dari Istri tercinta, perlakuan Ayah
kepada Ibu semakin bertambah daan ketat perlindungan, aku pun turut senang
mendapat kabar tesebut, mempunyai seorang adik.
Namun tuhan berkehedak
lain atas janin tersebut, saat Ibu merasa bosan hanya diam saja di kamar,
akhirnya Ibu tidak menuruti omongan Ayahku, saat menuju ke dapur Ibu terpeleset
hingga jatuh ke Lantai, Ibu tak sadarakan diri, Ningrum pembantu di rumah yang
pertama kali melihatnya langsung menelpon Ayah, Ayah mendengarnya terkejut
bercampur kecemasan, lalu Ambulan datang ke rumah membawa Ibu yang mash tak
sadarkan menuju ke Rumah Sakit, saat itu aku masih di Sekolah,
Ayah depresi setelah
mendapat kabar bahwa ternyata Ibu keguguran, seketika ayah berubah setelah
kejadian itu, dia lebih emosional, dan kata kata yang keluar dari mulutnya tak
dipikir dulu, dari bicara tentang derajat sosial, sampai tentang soal kekayaan,
Ibu tak bisa diam dibilang cewek kampung yang gak bisa apa apa, menjaga janin
saja gak becus, akhirnya saat itu ibu yang baru kembali dari rumah sakit naik
pitam berseteru dengan ayah yang tidak terkontrol karena minuman keras, terjadilah
tindak kekerasan, ayah yang kesetanan mendorong ibu hingga terjatuh bebas ke
lantai, langsung aku mengampiri ibu yang tak berdaya sambil melihat ayah yang
terdiam saja melihat ibu jatuh, api kebencian berkobar kobar dari dalam diriku,
sifatnya asli baru terlihat jelas, keramah tamahan dan kecintaannya hilang
bersama rasa percaya.
Aku membawa ibu ke
tempat tidur untuk berbaring, saat itu ayah langsung pergi entah kemana, aku
melihat wajah Ibu yang sangat letih, seperti memaksakan hidupnya untuk
menyeterai gaya hidup suaminya yang bukan dari dalam hatinya. Aku meresakan hal
itu setelah pernikahan dan hidup di Ibukota.
Akhirnya ibu sadar lalu
menatap lama wajahku sambil memegang erat kedua pipiku, “wajahmu tak bisa
dibohongi ran, kamu sebenarnya tidak suka dengan keputusan pernikahan ibu
dengannya, tapi kamu coba memaksakan diri untuk kebahagiaan keluarga”, keduanya
menangis dengan air mata membanjiri pipi mereka, “kekayaan tak selamanya
membuat manusia selalu bahagia” ujar Rani, Darsih menjawab dengan kesedihan
mendalam, “Aku terpaksa mencintainya dan menikah dengannya agar hidup kita bisa
lebih baik, aku harus jujur padamu, kamu harapan bagiku, akan kulakukan apapun
untuk membuat anakku bahagia”.
Tangerang, Banten