Angin berhembus kencang
menerpa tubuhku yang sedang berdiri memandang lautan yang luas, langit memberikanku
tambahan keindahan yang agung hingga air pasang bergoyang goyang ibarat sedang
menari bebas menerjang perahu yang kunaiki. Perahu menempuh perjalanan pulang,
ikan ikan hasil tangkapan terisi penuh, memberikan suasana para nelayan riang
hati. Esok lagi kita akan pergi melaut, merasakan lagi desir angin, ikan ikan
yang terlihat di permukaan, dan kapal kapal besar yang jauh dari pandangan,
mengisyaratkan lukisan pada kesehariaan Nelayan.
Senja terlihat kuning
menderang, cukup menyambut kami yang sampai di tujuan tepat waktu, angin
terlalu kencang bertiup, hal ini akan melahirkan badai badai yang justru
merugikan kami, kami mengikat perahu di sebuah balok besar, agar perahu tidak
terobang ambing, lalu kami semua membawa hasil tangkapan kami ke gudang es milik
Abah Okem, agak tidak berbau busuk esoknya hingga bisa terjual, dan kami pun
berpisah pulang.
Namaku Badul biasa
dipanggil oleh sekelompok nelayan Adul, aku tinggal seorang diri di Dunia ini, Bapakku
telah lama mati dilautan, Jasadnya sampai saat ini belum ditemukan, Ibuku mati
karena penyakit yang telah lama diderita, kita tak punya uang banyak saat itu
untuk membeli obat, Ibu menahan saja sakitnya sendiri hingga akhirnya dia tidak
kuat menanggungnya. Seorang pemuda sepertiku seharusnya mengenyam pendidikan yang
baik. Aku lulus SD saja, SMP dan SMA tidak aku lanjutkan karena biaya,
keseharianku hanya membantu ayah yang seorang Nelayan, sekarang aku
menggantikan pekerjaannya sekaligus menghidupi diriku sendiri.
Aku disebut pemuda yang
baik hati oleh warga di kampung kecil ini, banyak hal yang dilemparkan
kepadaku, aku sering membantu membetulkan rumah rumah mereka yang diterpa angin
kencang dari laut, rumah rumah disini terbuat dari bilik bilik seadanya,
dibangun dengan seadanya pula, jadi setiap musibah itu datang, kami siap apa
yang harus kami lakukan, yang terpenting kami bisa hidup dan mencari makan.
Esoknya kami kembali
melaut, harapan kami tangkapan hari ini lebih banyak dari kemarin, harapan
setiap orang itu sama, berharap esok lebih baik, kita melaju bersama Nelayan
yang lain dengan wajah penuh penasaran akan menangkap seekor apa, perahu masing
masing berlayar menuju arah berlainan,
Laut memberikan
harapan, memberikan kami pencerahaan, menentukan arah kami, membagi segala yang
ada di bumi ini, tuhan memberikan segalanya, jika manusia bersyukur dan
menghargai, kita tidak akan sia sia.
Ketika sampai di tengah
lautan kami melempar jaring ke laut, di tengah laut seperti banyak ikan, karena
kedalaman ikan ikan lebih senang berkumpul, aku memandang pada sebuah Kapal Besar
pada jarak yang jauh. Kapal yang besar mengangkut banyak orang disana,
membawanya ke Pelabuhan, hatiku berkata orang orang itu mungkin berkeluarga,
ada yang membawa anak, ibu, dan bapak, sesaat aku menghayal selalu ingin
berpetualang dengan ayahku menggunakan Kapal Besar ke penjuru dunia, mencari
amanah, memuaskan diri, dan menjalin keeratan, sungguh itu yang kuharapkan jika
selurh keluargaku masih ada, Ibu pun bisa memasak didalamnya, yang tentunya
makanan berbahan pokok ikan, tidak sampai hati memikirkan yang lain, cuma
khayalan tingkat tinggi.
Setelah sekian
menunggu, kami tarik jaring itu ke permukaan, dan hasilnya lebih banyak dari
kemarin, semua kawan di perahuku terlihat riang, dilihat dari hasil tangkapan,
pendapatan yang didapat juga akan lebih banyak, tidak puas dengan ini kami
mencari lahan menangkap lagi.
Lain cerita di
pelabuhan, orang orang datang dari berbagai tujuan dan asal, menginjak daratan menempuh
perjalanan ke Kota, memiliki banyak pembekalan, terjun mencari pekerjaan, ada
yang sehabis berwisata dengan berbalut wajah senang nan puas, berbagi cerita
kepada sesame penumpang, ada juga yang
masih bertanya tanya di dalam hati.
Satu keluarga empat kepala,
Bapak Darto, Ibu Darto, Kaka Amel, dan Dik Sayuti, menaiki sebuah taksi menuju
ke rumah kesayangan sehabis berlibur selama seminggu ke pulau batam rasa lelah
dan ria bercampur dengan rindu pada rumah. Taksi melaju pandangan pelabuhan
menjauh dari sisi jendela sebelah kanan Dik Sayuti memandang suasana.
Sesampainya di rumah,
Kakak dan Adik itu berburu masuk kerumah menuju kamar masing masing lalu
membaringkan tubuhnya di tempat tidur yang empuk, Bapak dan Ibu darto duduk
santai di ruang tamu sambil bercakap ditemani suasana rumah yang hening.
Badul pulang dengan
hasil tangkapan, Badul dan yang lain sangat senang. Ikan ikan yang ada di sebuah ember berloncat loncat
seperti ingin berenang kembali ke air, Dermaga sudah terlihat dari pandangan,
hasil kerja hari ini cukup memuaskan bagi kami.
Di dalam rumah, Badul
menghitung pendapatan hari ini, dari hasil penjualan ikan, dia merasa cukup
untuk sekedar makan dan menyisihkan sedikit demi sedikit untuk di tabung, Badul
mulai berdoa mensyukuri dan meminta rezeki kepada Tuhan, dia tak akan henti
berdoa setiap hari, harapan pada harapan Badul selalu optimis mendapatkan
kehidupan yang lebih baik
.
Cuaca malam itu,
mendadak berubah, angin kencang bertiup sangat keras, pikiran para Nelayan akan
terjadi badai besar di lautan dan mulai menghatam kampung kita, namun beberapa
menit angin berhenti, dan suasana menjadi sepi tentram begitu saja, tak satupun
dari warga memberi firasat aneh, hanya saja mereka menhentikan firasat
tersebut, agar semua baik baik saja.
Badul kembali ke dalam
rumah setelah mengawasi lautan sedemikian dalam, Badul berpikir akan datang
musibah tersebut, jika terjadi dia akan lari membawa beberapa pakaian dan uang,
berlari sekencang kencang bersama warga yang lain.
Hari baru mulai datang
rutinitas kembali berjalan, Daratan menjadi terang diberi cahaya kekuatan oleh Matahari,
orang orang menjalani kegiatan masing masing, di Kota dan di Kampung terlihat
ramai, tak kalah juga di lautan yang misteri, Perahu Badul berlayar lantang
menelusuri kekayaan Maritim di Negara ini.
Rumah keluarga Darto
terlihat longgar, Ibu Darto menjadi rumah tangga yang baik menjaga rumah dan
membereskannya, Pak Darto pergi bekerja, Kaka amel dan Dik sayuti menikmati
pendidikan untuk kelak masa depan mereka,
Kaka amel semester 8 di
Fakultas Ekonomi, Dik sayuti baru semester 3 di Fakultas Hukum, keinginan yang
berbeda serta cita cita mereka yang tinggi, penuh dengan kekuatan hidup yang
keras, mereka fokus mengejar mimpi dan masa datang.
Badul merasakan langit
menggambarkan keanehan, dari arah depan perahu, langit berwarna gelap, hembusan
angin datang tiba tiba menerpa tubuh kawanan nelayan, firasat aneh mewarnai
perjalanan, para nelayan menghentikan tujuan selanjutnya berniat memutar arah, Badul
takut akan gelombang besar menghujam kapal, dengan cepat Perahu mereka kayuh,
namun Badai terlalu cepat datang dengan gelombang air laut yang besar, seketika
semua Perahu terhantam air, terombang ambing di lautan, kawanan yang lain
terhanyut arah berlawanan, ada yang mencoba berenang menyelamatkan diri dengan
mencari sisa perahu yang mengambang agar tidak tenggelam, hari titu semua
berganti kedukaan, nasib mereka entah bagaimana, keterampilan meraka berenang
terbatas untuk di lautan yang besar ini.
Berita televisi mengatakan
cuaca hari ini akan bertiup angin besar bersama hujan yang deras, musim sudah
berganti, hujan deras pun datang ke
daratan, aktifitas semua terhenti , orang orang terdiam meneduh di Rumah, Kantor,
Halte, Kampus, dan Sekolah.
Dik sayuti tertahan di Selatsar
kampus karena hujan. Kaka amel pun serupa mereka tidak bisa kemana-mana padahal
mereka segera ingin pulang, karena mata kuliah sudah habis di sore hari ini,
mereka segera ingin melepas lelah, rumah lah solusinya.
Dik sayuti merasakan
firasat aneh tentang hujan bersama angin kencang ini, entah kenapa beda sekali
perasaannya hari ini, Dik sayuti mencoba menelpon rumah, kemudian diterima oleh
Ibu. Dik sayuti mencoba menanyakan keadaan Ibu, namun sepertinya sinyal
terbatas, jadi percakapan mereka terputus putus, sebab cuaca yang buruk melanda
Kota.
Pak darto juga mencoba
menanyakan keadaan Istri dan Anak anaknya, dengan menggunakan telepon genggam
mencoba menghubung satu persatu, memuaskan rasa penasaran akan kondisi orang
orang yang dicinta.
Ibu darto di rumah
terlihat gelisah , hujan tak kunjuung reda, angin bertiup sangat galak sekali,
sampah sampah di jalanan berterbangan membawa suasana semakin mencekam, langit
makin gelap menambah suasana seram, petir menyambar nyambar dengan kerasnya.
Kondisi di Pemerintahan terlihat sibuk, mereka
mendapat kabar dari Badan Meteorologi dan Geofisika setempat, cuaca hari ini
berdampak buruk, karena hujan dan angin berlangsung sangat lama, mereka mengidentifikasikan
akan datang gelombang pasang sangat besar dari lautan. Kabar tersebut
dipastikan kembali oleh Pemerintah akan kearutannya, jika hal tersebut terjadi Pemerintah
akan segera merealokasasikan penduduk ke tempat lebih tinggi.
Penduduk yang tinggal
di pesisir laut, melihat gelombang yang sangat besar menuju mereka, seperti Tsunami
segera menghatam daratan, segeralah penduduk pesisir berhamburan melarikan
diri, mencari tempat perlindungan.
Pemerintah segera turun
langsung ketika mendapat kabar Tsunami sudah hampir dekat, segera mereka
mencanangkan gawat darurat, semua pendudukan panik, meraka dituntun Tentara dan
Relawan menuju bukit paling tinggi, kondisi di setiap penjuru penduduk
berlarian, ada yang sambil menagis, menggedong anaknya, membawa harta benda,
semua berlari menjauhi air.
Kota porak poranda oleh
musibah air bah, anggota keluarga terpisah pisah tak tahu entah dimana, mungkin
saat ini hati mereka bertanya tentang sanak saudara yang terpisah apakah masih
hidup atau tidak, mungkinkah begitu serempak mereka bertanya tentang kehidupan.
Semua sudah terlambah sekejap air meratakan daratan, kabar dari mereka belum
juga sampai.
Tubuh Badul terbawa air
menuju pesisir pantai, akhirnya Badul terbangun, Badul terseret seret air pasang
yang kuat hingga tak sadarkan diri, syukur dia masih selamat namun disadari sesudahnya
dia terdampar di pulau kecil tak berpenghuni jauh dari tempat tinggalnya. Dia
berpikir terus apa yang harus dilakukan, setelah bermenit menit berdiri
memandang sekitar Badul duduk letih bersandar di sebuah Batu Pantai yang besar,
pandanganya ke arah laut samar samar, mungkin akibat terlalu banyak meminum air
laut, tiba tiba Badul memuntahkan isi perutnya.
Dik sayuti berdiri di
atas gedung kampus, merintih sedih bersama rekan rekan yang lain, ide untuk lari
ke atas gedung adalah inisiatif dari mahasiswa dan mahasiswi Hukum, karena
semua sudah terlambat, tak ada waktu untuk menghindari air. Selintas dik sayuti
memikirkan keluarganya. Melihat air seakan sedang berlayar di lautan. Nasibnya
berkecamuk Kaka amel tidak terlihat di Fakultas Ekonomi yang berjarak tidak
jauh, Sinyal telepon pun terputus berita keluarga tak dapat dipastikan.
Sampai saat ini korban
yang hilang dan yang selamat belum bisa diperkirakan, suara ricuh bergemuruh di
bukit tempat kawanan penududuk, ada orang yang mencari cari sanak saudara,
duduk terdiam dengan muka kosong, menangis keras, dan tentara membagikan
makanan bagi korban bersama relawan yang bertugas, musibah ini merenggut semua,
tidak ada pertanda sama sekali, hingga malam semakin meninggi, suara suara
orang berteriak dan menangis bersatu dan menyerbu bintang bintang merubah
langit menjadi kelabu, rembulan yang dulu terang sekarang sendu akibat refleksi
tubuh tubuh yang penuh luka serta di dalam hati. Tak ada lagi malam yang indah
yang sebelumnya penduduk menunjuk salah satu bintang tersebut, tubuh mereka yang
hangat oleh bulan, dan angin menerpa secara alami, hingga tuhan berkuasa
harfiah mereka menunggu tanah kering.
Masih di sebuah batu
pantai, Badul memandang langit, terfokus pada binatang berkelap kelip, sosok
ayahnya menjadi fatamorgana di hamparan langit, hingga dia bercakap dengan sang
langit dan sang bintang, berkeluh kesah secara lembut, pelan pelan terungkap
cerita hidup.
Dik saryuti tak sempat
hati terlalu jauh berujung sedih berkelanjutan, dia bersandar hening di sebuah
alas tembok, mencari solusi dan arah jalan keluar akan musibah ini, memikirkan kabar
Ibu , Ayah, dan Kakaknya hingga saat ini bantuan tidak kunjung datang, rasa
lapar dan kedinginan menyelimuti orang orang di atas gedung.
Esok hari air meresap
ke tanah sehinnga permukaan kering, barang barang berserakan dimana mana,
perabotan rumah, sisa kayu, ikan ikan mati, serta mayat dari orang yang tidak
beruntung. Beruntung bala bantuan datang mengidentifikasi, Dik sayuti dan rekan
yang lain menemukan harapan hingga mereka di bawa ke tempat pengungsian dan
mendapatkan makanan serta pengobatan.
Pulau tersebut memberi
gambaran kosong kepada Badul, tidak ada teman sesama manusia, tidak ada seorangpun,
hanya ada pohon kelapa yang menjulang tinggi, burung brung bertebangan di atas
kepala, apapun itu mereka memilik bahasa tersendiri, tak sama dengan bahasa Badul.
Batu pantai menjadi
curhatan Badul terhadap apa yang dia rasakan, menulis dengan batu kerikil
dengan keras, mencorat coret meluapkan isi hatinya sebagai bukti dia pernah
menjadi penduduk satu satunya di pulau ini akibat terseret ombak, tulisan tersebut
berisi bagaimana dia bisa sampai kesini secara lengkap hanya sebagai pelipur
lara. Kawanan lain yang terseret ombak kabarnya tak tahu keadaannya sampai saat
ini Badul bertanya tanya. Rasa lapar dan haus Badul hanya meminum air kelapa
yang dia petik dengan berusaha keras memanjat pohon tinggi, Badul optimis dia
akan hidup, dia merasa bukan ini akhir hayatnya.
Tiga hari kemudian
badul ditemukan oleh Petugas Patroli Laut dalam keadaan lemas bersandar di batu
pantai, kelaparan dan kedinginan membuat Badul hampir mati, lalu petugas
membawanya ke perahu membawanya ke pengungsian. Petugas mendapatkan kabar bahwa
ada beberapa Nelayan yang berlayar di hari musibah itu terjadi, sehingga mereka
memutuskan untuk mencari korban yang selamat.
Badul akhirnya membuka
mata melihat sang awan berlari, terdengar suara mesin motor, terkejut Badul
sudah perahu, bersama petugas, lalu Badul memaksa menanyakan tentang keberadaan
kawanannya, jawaban petugas membuatnya kembali terbaring, bahwa hanya dia yang
ditemukan selamat, yang lain tidak terselamatkan dan ada juga yang belum ditemukan
jenajahnya.
Di tempat pengungsian Badul
diobati oleh tim medis, keadaan pun sama masih banyak korban yang perlu diobati.
Di pengungsian penduduk bercampur aduk dengan segala jenis kondisi, keadaannya
seperti pasar yang ramai. Badul hanya terbaring, menatap ke arah langit, dan
menjawab sendiri pertanyaan pertanyaan disaatBadul hampir diambang kematian di
pulau tersebut.
Dik sayuti yang sudah
agak sehat membantu korban korban yang memerlukan bantuan. Tujuan pasien
terakhir Dik sayuti menghampri Badul memberikan obat, Badul yang sedang diinfus
tersebut menatap ke arah wajah Dik sayuti mengajaknya bercakap. Badul
menanyakan keadaan kota dan kampung nelayan, Dik sayuti memberikan informasi
kepada Badul dengan wajah sendu, bahwa semua menjadi amburadul, sisa yang ada
hanya serakan sampah beserta tumpukan mayat semua tak terkendali saat hari itu
laksana hari kiamat, keluarganya pun tidak ada yang selamat hanya Dik sayuti
seorang diri yang berhasil selamat sampai di pengungsian tersebut, akhirnya
mereka berbagi cerita panjang dan dalam sekali, keduanya akrab dengan
penderitaan, kehilangan, dan kegelisahan.
* Mengenang Tsunami Aceh 26 Desember 2004
* Mengenang Tsunami Aceh 26 Desember 2004
Jatinangor, Jawa Barat
0 comments:
Post a Comment