Si Uncung
berjalan sangat gontai, entah apa yang terjadi, mendapat kabar buruk, atau di palak
oleh preman pasar yang memaksa untuk memberi uang seribu rupiah, namun wajahnya
sangatlah kusam, berjalan melewati jalan kerikil dengan tatapan melesat ke rumahnya
yang masih bersisa jauh.
“mak, Uncung
lapar!!”
Tidak ada suara
yang membalasnya
“mak…mak dimana
?”
Tiba-tiba Mbo
Ayem datang dari sudut dapur mengagetkan Si Uncung
“mak Uncung
lapar !!”
“itu ada nasi
sama kerupuk’
Uncung meminta
garam, dan Mbo Ayem menyuruhnya mengambil di dapur.
Sudi sekali jika
matahari selalu terbit di atas rumah Uncung, Matahari dan rezeki selalu di
kaitkan dengan perspektif yang laten bagi sebagian manusia, bangun lebih pagi,
merupakan rezeki, jika bangun siang rezeki akan di patuk ayam begitu menurut
sebagian orang.
Jikalau datang
hujan, atap-atap rumahnya akan meneteskan air yang mengganggu ketentraman di dalam
rumah, namun Mbo Ayem dan Uncung selalu bermaksud bersahabat dengan air, dan
tidak menyumpah mereka agar kembali ke langit, hujan itu rezeki, karena
menyuburkan kebun singkong di belakang rumah, jikalau habis beras, ya…singkong
kita makan.
Rumah yang
didiami mereka bukanlah rumah sembarangan, rumah sederhana, berbahan sederhana,
tidaklah rumit kalau di lihat dari berbagai sisi, hanyalah getir dalam hati
jika kalian bermaksud melihat dari sisi hati yang paling dalam, lagi-lagi kesabaran
mereka merupakan kunci bagaimana mereka mampu hidup di musim yang banyak senja
di langit.
Sekolah Uncung
cukup jauh dari “gubuk” mereka, jika musim hujan, Uncung pasti kehabisan akal,
dan akan menerima malu dari teman-temannya, karena dia akan menjadi seperti
manusia plastik yang datang di balik derasnya hujan. Mbo Ayem sosok yang
penyabar, saking sabarnya, rumahnya pun tak pernah ambruk walau dalam
kenyataannnya, sudah berdiri lebih dari 20 tahun, mereka hanya tinggal berdua
di gubuk ini, tidak ada siapa-siapa lagi kecuali mereka, ayah Uncung mati, akibat
tertimbun tanah ketika dalam proyek mengeruk lahan liar. Apalagi yang bisa di
harapkan dari warga miskin seperti mereka hanya bisa berdiri di kaki orang
lain, dan menerima kudis, borok, dan luka busuk di kaki mereka sendiri, walau
kaki orang lain bersih, mulus, dan sejahtera karena mereka menumpang dan orang
lain tak peduli, yang penting kenyang.
Sekarang Uncung
kelas 5 sd, uncung merupakan murid yang rajin, cerdas, dan sopan, gurunya
sangat suka padanya serta prihatin, teman-temanya banyak yang mengejek
penampilan Uncung, bukan seperti pelajar melainkan gembel yang mencari sampah
di kota. Uncung hanya diam dan senyum, dia ingat kepada titah bapaknya, “kalau
orang lain menghina kita, kita cukup tersenyum dan jangan balik membalasnya”.
Uncung semakin kerasan ketika duduk dan mendengarkan pelajaran dimulai.
Pembangunan kota
semakin gentar-gentarnya berlangsung, banyak lahan-lahan yang dijual untuk
kepentingan Cukong dan Bos-Bos besar seperti membangun mall, komplek perumahan atau tempat
hiburan, kampungnya Uncung hampir kena sasaran, untungnya hanya sebagian, dan
sebagian lagi dianggap tempat nenek moyang oleh warga disana, dimana mereka
dilahirkan, dibesarkan, melihat sanak saudara mati terkubur. Sebab itu di
larang dibeli karena kalau tidak, urusannya akan ribet, dan itu di setujui
berbagai pihak.
Uncung banyak
belajar dari kehidupan kota, modernisasi, cara pandang, teknologi, sampai gaya
hidup, sudah dia lihat secara telanjang mata, Uncung seperti bongkahan es di
dalam lemari pendingin yang siap di buang karena makanan lain lebih berguna
didinginkan dari pada “bongkahan es”. Hati Uncung seperti es, yang tak pernah
panas membara, karena dia tidak iri sama sekali dengan kehidupan seperti itu.
Ada guru cantik
yang sangat memperhatikan Uncung, ialah Bu Suratmi, bukan ada maksud hati
dengan tujuan lain, pihak sekolah telah memperintah Suratmi untuk mempertanyakan
perihal tunggakan biaya sekolah yang di tujukan pada Uncung, pihak tata usaha
tidak mau langsung memanggil murid tersebut maka Ibu Suratmilah yang di utus
untuk mendekatkan diri padanya. Suratmi merupakan gadis jawa yang haus akan
ilmu, dari dulu cita-citanya adalah menjadi guru, memang keluarganya dominan
dari kalangan guru, Ayah seorang guru di sekolah rakyat dan Ibunya adalah guru
menari di keraton.
Sampai di rumah
Uncung langsung menghampiri Ibunya lalu membantu memasak,
“hari ini kita
makan singkong cung!!”
“wah kayaknya
enak nih”
“kamu ini,
singkong memang enak”
Hati Mbo Ayem
selalu sedih jika anaknya tersebut, selalu menghibur dirinya dan menghiburnya
dirinya sendiri.
Kegiatan sehari-hari
Mbo Ayem adalah penjual sayuran di pasar induk, sayuran di dapat merupakan
titipan dari produsen, dan Mbo Ayem hanya bertugas menjualnya, upah yang di dapat
pula tak seberapa namun Mbo Ayem sukuri, dengan begitu bertambah pula filosofi
keluarga Uncung. Matahari ditambah sayuran akan menjadi rezeki yang patut di
sukuri dengan bersukur hujan akan turun dan membasahi kebun singkong di
belakang rumah, singkong akan tubuh hebat dan selalu mengenyangkan perut kita.
Hari ini Uncung
diajak ikut ke ruangan Bu Suratmi, disana banyak guru yang menatap Uncung berbeda-beda tatapan, Uncung tak berani menatap balik, hanya Suratmi lah yang
dia tatap dari pelataran sampai menuju ruangan.
“Cung Ibu hanya
ingin menanyakan sesuatu ?”
“Maaf Ibu jika
agak menegurmu”
“Pihak sekolah
menagih tunggakan biaya sekolahmu, bagaimana kamu membayarnya ?”
Uncung terdiam
sejenak…..
“Cung…cung…kamu
kok diam ?”
“Iya Ibu, Uncung
akan menanyai kepada Ibu di rumah”
Setelah pergi
dari ruangan guru Suratmi, Uncung menjadi suram, dia menyendiri, duduk di
bangkunya, dan hanya ada bayangan Ibunya disana, lalu mengeluarkan air mata
sedikit demi sedikit.
Sampai di rumah,
Uncung langsung memberitahukan kabar dari sekolah ke Mbo Ayem, suasana menjadi
senja, senja menyerumpai kemudian merajut lamunan sunyi antara dinding kayu,
Uncung menyadari kalau masing-masing kepala pasti bingung memikirkan hal
tersebut.
Suratmi selalu
menunggu kabar dari Uncung, tentang pelunasan biaya tersebut, namun seperti
dingin saja, Uncung tetap bersekolah, kemudian tata usaha sudah memorandum
masalah pelunasan tersebut, hanya Uncung yang bermasalah, dan sesekali pihak
sekolah memberi belas kasihan kepada Uncung namun sering sekali.
Kadang kala
Suratmi terketuk hatinya, menyaksikan muridnya yang tidak mampu namun mempunyai
tekad yang sangat besar untuk belajar, beda dengan yang lain, dengan
bergelimang harta mereka bisa saja enak-kepenak lalu tak peduli berilmu. Namun
Suratmi tak bisa melakukan apa-apa, hanya saja datang mukzizat akan celah lebih
luas lagi untuk toleransi pihak sekolah yang belajar mulus, namun saat ini,
pihak sekolah harus bertindak tegas, karena sudah di beri jangka pembayaran
berkali-kali, dan itu sudah di bahas berulang-ulang.
Setelah seminggu
berlalu Uncung tetap saja, masih dingin dengan kewajibannya tersebut, Suratmi
sudah melaporkan hasilnya, namun pihak sekolah tidak mau ambil pusing, ini
merupakan tugasnya, sesekali Suratmi mendekati Uncung, namun wajahnya yang
begitu senja dan penampilan yang begitu sendu, Suratmi akhirnya berganti topik.
Dua minggu
berlalu, wajah Uncung semakin senja dan penampilannya semakin sendu pula, ini
merupakan batas terakhir yang di berikan pihak sekolah, dan Suratmi sebagai
perantara wajib melakukan hak yang sebenarnya tidak tega dia lakukan.
Setelah bel pulang
sekolah, Uncung kembali berjalan dengan sangat lemas seperti tidak ada gizi,
bersama Sulastri dia masuk ke ruangan.
“”Cung, mohon
maaf, besok batas pelunasan tersebut”
“Iya..Ibu saya
besok akan datang ke sekolah”
“Oh..baguslah
itu kabar baik”
Uncung keluar
dari ruangan, dan bergegas pulang, Sulastri memperhatikannya, Uncung seperti
kurang makan, tubuhnya seperti lemas, dan wajahnya seperti kusam, bukan seperti
kusam hari-hari biasanya. Hati Sulastri bertanya, ada apakah gerangan yang
terjadi, namun dia harus kembali melakukan pekerjaannya.
Jaraknya terasa
berat, uncung seperti berat melangkahkan kaki, melewati berbagai batu, ilalang,
dan kayu-kayu. Langit gelap mau turun hujan, seketika hujan turun sangat deras,
dan Uncung masih jauh dari gubuknya.
Pikiran Mbo Ayem
merintih pilu, menanti anaknya, dia memikirkan Uncung terus, Karena hujan
diluar sangatlah deras, petir menyambar, dan begitu juga angin sangat kencang, Mbo
ayem merasakan kepala dan perutnya seperti suasana diluar.
Tidak ada
singkong, tidak ada beberapa kenikmatan disini, semua harus terpisah, sebagian
dan sebagian dan akhirnya kosong, semua itu hanya segelas air putih dari subuh
dan setelah adzan magrib, begitu seterusnya sampai dana itu terkumpul, dan
sesekali menyantap makanan.
Sudah menjelang
maghrib Uncung belum datang, dan Mbo Ayem sangat khawatir, akhirnya Mbo Ayem nekat
hujan-hujanan mencari Uncung, karena payung tidak akan dia jumpai.
Sesampainya di
sekolah dengan berjalan cukup jauh, Mbo Ayem berjumpa dengan Bu Guru Suratmi,
lekas menanyakan Uncung,
“Uncung sudah
pulang dari tadi siang bu”
“Tapi dia belum
sampai di rumah”
“mari kita cari
bersama-sama”
Tiba-tiba Mbo
Ayem pingsan seketika ketika akan berlanjut ke pencarian.
Setelah dua jam
pingsan, Mbo Ayem membuka matanya, dia sudah ada di ruangan uks, dengan
beberapa orang menemaninya, disitu ada Bu Guru Suratmi, lekas dia menanyakan
anaknya tersebut,
“ kami sedang
mencari Uncung dengan bantuan warga sekitar”
“Kondisi ibu
tidak memungkinkan untuk mencari, kondisi ibu sangat lemah”
“tapi Uncung
bagaimana ?”
“tenang Ibu, istirahat saja !!”
Pencarian
dimulai bersama malam yang meranggas, jangkrik menemani pencarian, warga-warga
yang baik hati, beberapa karyawan sekolah yang begitu teliti dan optimis
mencari keberadaan Uncung, rembulan membentuk bulat utuh, dan rasi bintang tak
akan pernah ternoda oleh goresan kisah pilu dan riang, memang sengaja bulan
bersinar untuk membentangkan jalannya yang murni dan halus bagi manusia-manusia
yang mengenal gaib dan normal sebagai sebuah bukti bahwa hidup itu akan terus
dalam cahaya.
Esok pagi
sekitar jam 7, terdengar suara berita duka dari mushola dekat kampung, bahwa
diketemukan jasad anak kecil di belukar liar, mati lemas disebabkan karena kurang
asupan makanan, setelah itu sekitar sore menjelang maghrib Ibu tua meninggal dengan sebab yang sama.
Jatinangor, Jawa Barat
Cerita yang bagus. Harus terus bersyukur dengan rezeki yg sudah ada kayak Uncung. bener oom.
ReplyDeleteBtw... cara penyampaian ceritanya mudah diterima dan simple. I enjoyed it. Alus brurr...
Terimakasih yaa
ReplyDeleteSalam,
Helmi agusrizal