Monday, August 5, 2013

SUATU SORE MENJELANG MAGHRIB (CERPEN)

Unknown


   Si Uncung berjalan sangat gontai, entah apa yang terjadi, mendapat kabar buruk, atau di palak oleh preman pasar yang memaksa untuk memberi uang seribu rupiah, namun wajahnya sangatlah kusam, berjalan melewati jalan kerikil dengan tatapan melesat ke rumahnya yang masih bersisa jauh.

“mak, Uncung lapar!!”

Tidak ada suara yang membalasnya

“mak…mak dimana ?”

Tiba-tiba Mbo Ayem datang dari sudut dapur mengagetkan Si Uncung

“mak Uncung lapar !!”

“itu ada nasi sama kerupuk’

Uncung meminta garam, dan Mbo Ayem menyuruhnya mengambil di dapur.

  Sudi sekali jika matahari selalu terbit di atas rumah Uncung, Matahari dan rezeki selalu di kaitkan dengan perspektif yang laten bagi sebagian manusia, bangun lebih pagi, merupakan rezeki, jika bangun siang rezeki akan di patuk ayam begitu menurut sebagian orang.

 Jikalau datang hujan, atap-atap rumahnya akan meneteskan air yang mengganggu ketentraman di dalam rumah, namun Mbo Ayem dan Uncung selalu bermaksud bersahabat dengan air, dan tidak menyumpah mereka agar kembali ke langit, hujan itu rezeki, karena menyuburkan kebun singkong di belakang rumah, jikalau habis beras, ya…singkong kita makan.

 Rumah yang didiami mereka bukanlah rumah sembarangan, rumah sederhana, berbahan sederhana, tidaklah rumit kalau di lihat dari berbagai sisi, hanyalah getir dalam hati jika kalian bermaksud melihat dari sisi hati yang paling dalam, lagi-lagi kesabaran mereka merupakan kunci bagaimana mereka mampu hidup di musim yang banyak senja di langit.

 Sekolah Uncung cukup jauh dari “gubuk” mereka, jika musim hujan, Uncung pasti kehabisan akal, dan akan menerima malu dari teman-temannya, karena dia akan menjadi seperti manusia plastik yang datang di balik derasnya hujan. Mbo Ayem sosok yang penyabar, saking sabarnya, rumahnya pun tak pernah ambruk walau dalam kenyataannnya, sudah berdiri lebih dari 20 tahun, mereka hanya tinggal berdua di gubuk ini, tidak ada siapa-siapa lagi kecuali mereka, ayah Uncung mati, akibat tertimbun tanah ketika dalam proyek mengeruk lahan liar. Apalagi yang bisa di harapkan dari warga miskin seperti mereka hanya bisa berdiri di kaki orang lain, dan menerima kudis, borok, dan luka busuk di kaki mereka sendiri, walau kaki orang lain bersih, mulus, dan sejahtera karena mereka menumpang dan orang lain tak peduli, yang penting kenyang.

 Sekarang Uncung kelas 5 sd, uncung merupakan murid yang rajin, cerdas, dan sopan, gurunya sangat suka padanya serta prihatin, teman-temanya banyak yang mengejek penampilan Uncung, bukan seperti pelajar melainkan gembel yang mencari sampah di kota. Uncung hanya diam dan senyum, dia ingat kepada titah bapaknya, “kalau orang lain menghina kita, kita cukup tersenyum dan jangan balik membalasnya”. Uncung semakin kerasan ketika duduk dan mendengarkan pelajaran dimulai.

 Pembangunan kota semakin gentar-gentarnya berlangsung, banyak lahan-lahan yang dijual untuk kepentingan Cukong dan Bos-Bos besar seperti membangun mall, komplek perumahan atau tempat hiburan, kampungnya Uncung hampir kena sasaran, untungnya hanya sebagian, dan sebagian lagi dianggap tempat nenek moyang oleh warga disana, dimana mereka dilahirkan, dibesarkan, melihat sanak saudara mati terkubur. Sebab itu di larang dibeli karena kalau tidak, urusannya akan ribet, dan itu di setujui berbagai pihak.

 Uncung banyak belajar dari kehidupan kota, modernisasi, cara pandang, teknologi, sampai gaya hidup, sudah dia lihat secara telanjang mata, Uncung seperti bongkahan es di dalam lemari pendingin yang siap di buang karena makanan lain lebih berguna didinginkan dari pada “bongkahan es”. Hati Uncung seperti es, yang tak pernah panas membara, karena dia tidak iri sama sekali dengan kehidupan seperti itu.

 Ada guru cantik yang sangat memperhatikan Uncung, ialah Bu Suratmi, bukan ada maksud hati dengan tujuan lain, pihak sekolah telah memperintah Suratmi untuk mempertanyakan perihal tunggakan biaya sekolah yang di tujukan pada Uncung, pihak tata usaha tidak mau langsung memanggil murid tersebut maka Ibu Suratmilah yang di utus untuk mendekatkan diri padanya. Suratmi merupakan gadis jawa yang haus akan ilmu, dari dulu cita-citanya adalah menjadi guru, memang keluarganya dominan dari kalangan guru, Ayah seorang guru di sekolah rakyat dan Ibunya adalah guru menari di keraton.

Sampai di rumah Uncung langsung menghampiri Ibunya lalu membantu memasak,

“hari ini kita makan singkong cung!!”

“wah kayaknya enak nih”

“kamu ini, singkong memang enak”

Hati Mbo Ayem selalu sedih jika anaknya tersebut, selalu menghibur dirinya dan menghiburnya dirinya sendiri.

 Kegiatan sehari-hari Mbo Ayem adalah penjual sayuran di pasar induk, sayuran di dapat merupakan titipan dari produsen, dan Mbo Ayem hanya bertugas menjualnya, upah yang di dapat pula tak seberapa namun Mbo Ayem sukuri, dengan begitu bertambah pula filosofi keluarga Uncung. Matahari ditambah sayuran akan menjadi rezeki yang patut di sukuri dengan bersukur hujan akan turun dan membasahi kebun singkong di belakang rumah, singkong akan tubuh hebat dan selalu mengenyangkan perut kita.

 Hari ini Uncung diajak ikut ke ruangan Bu Suratmi, disana banyak guru yang menatap Uncung berbeda-beda tatapan, Uncung tak berani menatap balik, hanya Suratmi lah yang dia tatap dari pelataran sampai menuju ruangan.

“Cung Ibu hanya ingin menanyakan sesuatu ?”

“Maaf Ibu jika agak menegurmu”

“Pihak sekolah menagih tunggakan biaya sekolahmu, bagaimana kamu membayarnya ?”

Uncung terdiam sejenak…..

“Cung…cung…kamu kok diam ?”

“Iya Ibu, Uncung akan menanyai kepada Ibu di rumah”

Setelah pergi dari ruangan guru Suratmi, Uncung menjadi suram, dia menyendiri, duduk di bangkunya, dan hanya ada bayangan Ibunya disana, lalu mengeluarkan air mata sedikit demi sedikit.

 Sampai di rumah, Uncung langsung memberitahukan kabar dari sekolah ke Mbo Ayem, suasana menjadi senja, senja menyerumpai kemudian merajut lamunan sunyi antara dinding kayu, Uncung menyadari kalau masing-masing kepala pasti bingung memikirkan hal tersebut.

 Suratmi selalu menunggu kabar dari Uncung, tentang pelunasan biaya tersebut, namun seperti dingin saja, Uncung tetap bersekolah, kemudian tata usaha sudah memorandum masalah pelunasan tersebut, hanya Uncung yang bermasalah, dan sesekali pihak sekolah memberi belas kasihan kepada Uncung namun sering sekali.

 Kadang kala Suratmi terketuk hatinya, menyaksikan muridnya yang tidak mampu namun mempunyai tekad yang sangat besar untuk belajar, beda dengan yang lain, dengan bergelimang harta mereka bisa saja enak-kepenak lalu tak peduli berilmu. Namun Suratmi tak bisa melakukan apa-apa, hanya saja datang mukzizat akan celah lebih luas lagi untuk toleransi pihak sekolah yang belajar mulus, namun saat ini, pihak sekolah harus bertindak tegas, karena sudah di beri jangka pembayaran berkali-kali, dan itu sudah di bahas berulang-ulang.

 Setelah seminggu berlalu Uncung tetap saja, masih dingin dengan kewajibannya tersebut, Suratmi sudah melaporkan hasilnya, namun pihak sekolah tidak mau ambil pusing, ini merupakan tugasnya, sesekali Suratmi mendekati Uncung, namun wajahnya yang begitu senja dan penampilan yang begitu sendu, Suratmi akhirnya berganti topik.

 Dua minggu berlalu, wajah Uncung semakin senja dan penampilannya semakin sendu pula, ini merupakan batas terakhir yang di berikan pihak sekolah, dan Suratmi sebagai perantara wajib melakukan hak yang sebenarnya tidak tega dia lakukan.

 Setelah bel pulang sekolah, Uncung kembali berjalan dengan sangat lemas seperti tidak ada gizi, bersama Sulastri dia masuk ke ruangan.

“”Cung, mohon maaf, besok batas pelunasan tersebut”

“Iya..Ibu saya besok akan datang ke sekolah”

“Oh..baguslah itu kabar baik”

 Uncung keluar dari ruangan, dan bergegas pulang, Sulastri memperhatikannya, Uncung seperti kurang makan, tubuhnya seperti lemas, dan wajahnya seperti kusam, bukan seperti kusam hari-hari biasanya. Hati Sulastri bertanya, ada apakah gerangan yang terjadi, namun dia harus kembali melakukan pekerjaannya.

 Jaraknya terasa berat, uncung seperti berat melangkahkan kaki, melewati berbagai batu, ilalang, dan kayu-kayu. Langit gelap mau turun hujan, seketika hujan turun sangat deras, dan Uncung masih jauh dari gubuknya.

 Pikiran Mbo Ayem merintih pilu, menanti anaknya, dia memikirkan Uncung terus, Karena hujan diluar sangatlah deras, petir menyambar, dan begitu juga angin sangat kencang, Mbo ayem merasakan kepala dan perutnya seperti suasana diluar.

 Tidak ada singkong, tidak ada beberapa kenikmatan disini, semua harus terpisah, sebagian dan sebagian dan akhirnya kosong, semua itu hanya segelas air putih dari subuh dan setelah adzan magrib, begitu seterusnya sampai dana itu terkumpul, dan sesekali menyantap makanan.

 Sudah menjelang maghrib Uncung belum datang, dan Mbo Ayem sangat khawatir, akhirnya Mbo Ayem nekat hujan-hujanan mencari Uncung, karena payung tidak akan dia jumpai.

  Sesampainya di sekolah dengan berjalan cukup jauh, Mbo Ayem berjumpa dengan Bu Guru Suratmi, lekas menanyakan Uncung,

“Uncung sudah pulang dari tadi siang bu”

“Tapi dia belum sampai di rumah”

“mari kita cari bersama-sama”

Tiba-tiba Mbo Ayem pingsan seketika ketika akan berlanjut ke pencarian.

 Setelah dua jam pingsan, Mbo Ayem membuka matanya, dia sudah ada di ruangan uks, dengan beberapa orang menemaninya, disitu ada Bu Guru Suratmi, lekas dia menanyakan anaknya tersebut,

“ kami sedang mencari Uncung dengan bantuan warga sekitar”

“Kondisi ibu tidak memungkinkan untuk mencari, kondisi ibu sangat lemah”

“tapi Uncung bagaimana ?”

“tenang Ibu, istirahat saja !!”

 Pencarian dimulai bersama malam yang meranggas, jangkrik menemani pencarian, warga-warga yang baik hati, beberapa karyawan sekolah yang begitu teliti dan optimis mencari keberadaan Uncung, rembulan membentuk bulat utuh, dan rasi bintang tak akan pernah ternoda oleh goresan kisah pilu dan riang, memang sengaja bulan bersinar untuk membentangkan jalannya yang murni dan halus bagi manusia-manusia yang mengenal gaib dan normal sebagai sebuah bukti bahwa hidup itu akan terus dalam cahaya.

 Esok pagi sekitar jam 7, terdengar suara berita duka dari mushola dekat kampung, bahwa diketemukan jasad anak kecil di belukar liar, mati lemas disebabkan karena kurang asupan makanan, setelah itu sekitar sore menjelang maghrib Ibu tua meninggal dengan sebab yang sama.



                                                                                                                                 Jatinangor, Jawa Barat

About the Author

Unknown / Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

2 comments:

  1. Cerita yang bagus. Harus terus bersyukur dengan rezeki yg sudah ada kayak Uncung. bener oom.
    Btw... cara penyampaian ceritanya mudah diterima dan simple. I enjoyed it. Alus brurr...

    ReplyDelete
  2. Terimakasih yaa


    Salam,
    Helmi agusrizal

    ReplyDelete

Catatan Penulis & Arsip Pribadi

Powered by Blogger.

Instagram

Popular Posts

Contact Us

Name

Email *

Message *

Pages

Like us

http://melanialysandra.blogspot.com/

About me

Nama : Helmi Agusrizal Place/Date of Birth : Jakarta/august 02, 1988 Sex : Male Citizenship : Indonesia Marital status : Married Religion : Moslem E-mail address : Helmi.agusrizal@gmail.com Address : Pondok Budiasih (Saluyu), Jl. Ahmad Syam, Kampung Ciawi, Desa Cikeruh (RT/RW 02/04), Jatinangor – Sumedang, Jawa Barat. 45363 Phone : Mobile (081214613112) Formal Education : 2006 – 2010 IKOPIN, majoring in human resourch management, Jatinagor-Bandung 2003 – 2006 Senior High School in SMA YUPPENTEK 1 Tangerang, Banten-Serang 2001 – 2003 Junior High School in SMPN 19 Tangerang, Banten-Serang 1995 – 2001 Elementary School in SDN Dayung Tangerang, Banten-Serang 1993 - 1995 Kindergaten School in TK Nurul Islam Tangerang, Banten-Serang

Facebook

http://delighthomegarden.blogspot.com/

Entri Populer