Tuesday, September 17, 2013

DUA WAJAH PEREMPUAN (CERPEN)

Unknown

Pagi datang begitu cepat menjamu para insan bumi memeluk surya mentari yang hangat, tak kalah hangatnya dengan pelukan rembulan yang bersinar memenuhi nafsu dan cinta orang orang kesepian di atas bukit kegelisahan, satu sisi dari mereka merindukan kemegahan duniawi, cita rasa yang agung, dan pengampunan sebuah dosa, orang orang tersebut memang sudah terpaksa terjerumus dalam pilihan yang sulit, dunia memilih mereka bukan untuk menjadi pelayan sedemikian hal tersebut dibantah mentah oleh sebagian orang, mereka adalah penemu dan pencipta bagi segala, bukan orang yang dilahirkan sia sia.

 Tak lepas dari perkara mudah tentang sebagian orang yang memiliki masalah, saya menggambarkan segelintir masalah di dusun dusun terpencil, apa yang saya ceritakan hal yang sangat tabu, sensitif, dan pastinya pergolakan jiwa dan raga, sekelumit kecil atau besar memang sudah menjadi dinamika kehidupan tentang orang orang yang mempunyai batasan dan kemampuan berbeda beda.

 Salah satu pesona sebuah desa adalah pemandangan indah dan alam yang masih alami, pembangunan modern masih jarang terlihat, mereka mengembangkan pertanian dan peternakan sebagai ladang pekerjaan untuk meraup untung, memang hasilnya sangat maksimal dengan di distribusikan ke kota kota secara rutin, mereka bisa menghidupi keluarga serta menghidupi usaha.

 Ada lagi selain pesona alam, daya tarik gadis gadis desa pun mempunyai nilai tambahan, mereka ayu, mereka cantik tanpa polesan, mereka seperti menarik yang melihatnya untuk teduh di sampingnya, apalagi gadis desa tak kalah dengan artis artis ibukota yang mengandalkan keseksian dan modal nekat. 

 Sambil saya mengingat ingat cerita, ada kesulitan saya menghidupi sebuah tokoh tokoh didalamnya, sebut saja Darsih seorang ibu muda yang sudah lama ditinggal suaminya karena tergoda janda kaya setengah baya yang haus belaian laki laki dan rela menghidupi mantan ayahku yang kere, memang ayahku tampan, janda tersebut tergila gila. 

 Anak sulung Darsih bernama rani terlihat polos tapi keras kepala. Hidup dengan segala keterbatasan di desa, Darsih masih muda, cantik serta, montok, tak heran kepala desa mengincar. Sementara rani menjadi anak muda bersama gejolak gejolak yang membara, dalam transisi yang begitu rumit.

 Darsih merupakan petani yang bekerja di lumbung padi milik Hj Sosih, upah yang diterima hanya sedikit, meskipun sedikit Darsih mampu membiyai rani hanya sampai Smp, kemudian Rani hanya membatu ibunya di rumah, Rani mencoba mencari pekerjaan setamat Smp, namun peluang pekerja di desa tidak banyak, Rani mencoba ingin membantu ibunya di lumbung padi, namun Darsih melarangnya, entah kenapa Darsih melarangnya, tetap Rani yang keras kepala memakasa ibunya untuk bekerja disana, Rani tidak kerasan hanya di rumah, dia ingin jadi bagian.

 Hari hari mereka penuh dengan pertengkaran, rani yang keras kepala, dan darsih yang putus asa, mereka terus berbeda pendapat, namun seorang Ibu pasti ingin memberikan yang terbaik bagi anaknya, sepertinya Darsih terlalu kolot, jika dia ingin membuat Rani hanya menjadi seorang pembantu, lebih baik tak usah dia sekolahkan sampai Smp, Sd saja cukup dan tanpa keluar biaya, Rani menatap Darsih sangat bermakna, jika dia tidak diperbolehkan bekerja, maka kawinkan saja Rani dengan orang kaya, dia mengancam.

 Darsih yang lunglai mulai bekerja, wajahnya muram tidak bisa disimpan, memikirkan anaknya yang begitu lantang kepadanya, jika teringat kembali anaknya wajah kembali muram. Disela waktu Hj Sosih melihat anak buahnya berbeda, dia mencoba dekati Darsih menanyakan sesuatu, Hj Sosih yang sudah tua tersebut mendengarkan keluhan keluhan Darsih secara sabar, tentang dia dan anaknya, semoga Hj Sosih menemukan jalan keluar atas masalah anak dan ibu tersebut.

 Hj sosih mengenalkan rekan kerjanya dari Jakarta kepada Darsih, Lelaki ini sudah lama ingin berkenalan dengan Darsih namun dia sering bertanya Tanya pada Hj Sosih bagaimana awal awalnya berkenalan. Lelaki ini bernama Suratman, seorang yang mapan, pekerja keras, ramah, dan penyayang, namun kehidupan cintanya kandas karena keegoisan masing masing pasangan, sudah lama sekali Suratman nakasir dengan Darsih, dia berkata pada Hj Sosih bahwa dari sekian pekerja di lumbung padi hanya Darsih yang membuatnya tergila gila, Suratman menilai Darsih mempunyai kulit yang bersih, wajah yang berseri, dan sosok yang menggagumkan, tak pantas rasanya dia hanya jadi pekerja lumbung padi. 

 Darsih yang pemalu hanya tersenyum senyum saat berkenalan dengan Suratman, ditambah percakapan percakapan standar antar keduanya, Suratman makin tergila gila saat berdekatan dengan Darsih, siang itu mereka larut dalam suasana.

 Rani juga remaja yang tak kalah cantiknya dengan sosok Darsih, banyak pemuda desa yang menggodanya jika melihat Rani berjalan membeli kebutuhan pokok di pasar, ada seorang pemuda desa luntang lantung menggilainya, Jalil namanya, rani juga tahu Jalillah yang rutin mengodanya kalau dia sedang berjalan sendiri, namun Rani mengangagapnya hanya kafilah yang berlalu, bukan Kriteria Rani, pemuda kampung tersebut hanyalah membuang waktu saja.

 Sepertinya Suratman tahu bahwa Darsih seorang janda, makinlah dia menggila, angan dia ingin segera melamar Darsih, dan membawanya hidup bersama di Jakarta, mengurusnya dan menjaganya, Suratman belum tahu bahwa Darsih mempunyai anak perempuan, tak tahu bagaimana perasaan Rani jika Darsih menikah dengan Suratman, dan pertanyaannya bisakah dia menerima Suratman dan anaknya tersebut, dan begitu juga Suratman mampu menerima keluarga barunya.

 Suatu hari Suratman memberanikan diri untuk berkunjung ke rumah Darsih, dengan alasan silaturahmi, tapi sesungguhnya dengan maksud lain, rindu di hati tak bisa ditahan, sampailah Suratman di rumah bilik milik Darsih dan Anaknya, dengan wajah sumeringah, Suratman memberi salam, sehingga Darsih mendekati suara, ditemukanlah Suratman dengan beberapa kantong makanan dan buah buahan yang dijinjingnya.

 Darsih bercakap dengan Suratman di dalam rumah, mereka saling akrab, rasanya Darsih juga ada perasaan dengannya, Darsih yang kesepian dan putus asa akan kehidupan beserta anaknya perlu seorang lelaki untuk membantu dalam masalah kecil atau besar, apalagi lelaki itu punya duit, maka tidak ada masalah jika duit sudah lebih jadi seorang teman, seperti hubungan suami dan istri lebih tepatnya.

 Rani menemukan ibunya sedang bercengkrama dengan lelaki asing, dengan rasa penasaran yang besar, Rani menengok tajam di balik bilik bambu, mendengar ucapaan, candaan dan lain hal, dia seoperti tertarik mendegar, tak ada yang bisa dia lakukan selain menguntit pembicaaan orangtuanya.

 Hari sudah mulai malam, rembulan meninggi, mengakhiri pembicaan mereka berdua, terlihat dari gelagat Suratman, dia masih ingin lama menatap wajah Darsih yang ayu, jikalau masih ada kesempatan, mungkin Suratman nekat mencium bibirnya, meraba raba, sejenak pikiran terlintas hingga terlalu jauh, sebagai Lelaki yang sudah lama tidak mendapat belaian seorang wanita.

 Suratman sudah pergi, wajah Darsih berubah sendu, tiba tiba dia terpikir anaknya, belum kelihatan dari tadi siang, dia mencari Anaknya sampai halaman belakang, tidak menemukan apapun, semakinlah seorang Ibu berpikir macam macam.

 Rani datang larut malam dengan wajah diam, tak bicara apapun, ibunya yang memaksa bicara, semakin rani kesal, dengan cepat masuk ke kamar tidurnya, menutup pintu dengan keras, lantaslah Darsih semakin berpikir macam macam, malam itu mereka berdua akhirnya berdebat tentang laki laki asing yang makmur tersebut.

 Ayam berkokok memanggil matahari agar menaiki kursi kerajaannya, tubuh tubuh layu terbangun dengan bekas air mata, mereka saling tak mau bicara, saling menghindar, namun ruang untuk mengindar tidak luas untuk rumah seukuran itu, seperti keduanya bersikukuh menolah untuk harmonis kembali, bersikap teguh dengan pendiriannya.

 Suratman berbicara dengan Hj Sosih sangat pribadi sekali, membujuk Darsih agar mau menerima lamarannya, Suratman menyatakan kepada Hj Sosih bahwa dia jatuh cinta terlalu dalam kepada Darsih, Hj Sosih hanya menggeleng geleng kepala, “tumben kamu suka perempuan kampung”, ujar Hj Sosih, “yang ini beda, tidak seperti biasanya” balas Suratman, “memang bedanya dimana ? “ , “ah Pa Haji sudah tua gak bisa menilai”. Dengan berbagai kompromi beserta rayuan rayuan, Hj Sosih akhirnya menyetujui untuk berbicara langsung kepada Darsih, nantinya Hj Sosih sebagai wali orang tua dalam lamaran tersebut, sebenarnya orang tua Suratman bekerja di Belanda, mereka pulang setahun sekali, Suratman dengan senang mendengar Hj Sosih menyetujuinya, dengan begitu Suratman memberi arahan kembali ibarat Gladiresik, saat menyatakan lamaran Hj sosih wajib mengumbar Suratman sebagai calon suami yang baik agar calon istri semakin yakin , Hj Sosih kembali geleng geleng kepala.

 Hari yang ditunggu telah tiba, Hj Sosih dan Suratman menuju rumah Darsih di hari minggu yang cerah, Darsih kaget dengan kehadiran Hj Sosih bos-nya itu, dengan langsung kearah tujuan, Hj Sosih seraya wali orang tua Suratman, segera ingin melamar Darsih sebagi calon istri Suratman, mendengar hal tersebut, Darsih lantas berubah, air mukanya lebih gamang dari sebelumnya, apa yang dimaksud Hj Sosih hanya becanda atau tantangan saja. Mungkin Darsih bermimpi siang itu.

 Suratman angkat bicara “iya Aku ingin melamar dek Darsih, karena Aku jatuh cinta sama Dek Darsih saat pandangan pertama”, Darsih menjawab dengan lugu “Saya wanita kampung mas, gak punya pendidikan, gak layak sama Lelaki yang sudah mapan seperti Mas Suratman”, balas Darsih “ saya gak ngeliat dari itu, saya liat di diri kamu, kamu orang baik dan gak neko neko”, Darsih hanya tersenyum malu malu dipuji Suratman.

 Darsih menanyakan dulu kepada anaknya tentang lamaran ini, Darsih harus berdiskusi dengan anaknya, tiba tiba Suratman angkat bicara lagi, yang ini Suratman seperti memaksa jawaban “jadi lamaran ini bagaimana ?, diterima ??”, Darsih hanya tersenyum lalu berkata “nanti Mas saya kasih jawaban saat saya sudah berdiskusi dengan anak saya”, suratman harus lebih sabar menahan besarnya cinta kepada Darsih, akhirnya Suratman dan Hj Sosih pulang dengan jawaban sebuah lamaran yang belum pasti. Kepala desa yang naksir Darsih mendengar lamaran tersebut, hati Kepala Desa menjadi lebur, hancur bersama angannya, kalau ditanding dengan Suratman, dia bakal kalah, ya sudah Kepala Desa merelakan saja.

 Darsih menghapus ego untuk berbibaca kepada rani, “Ran, Ibu mau ngomong sebentar” terlihat Rani memalingkan muka, “Ran, Ibu perlu kamu untuk hal ini” akhirnya hati Rani tersentuh utnuk mendengar keluhan Ibunya, mereka berdua akrab kembali, “kemarin Mas Suratman, yang kamu anggap Lelaki asing itu melamar ibu,” tukas Darsih, “apa dia melamar ibu, apa dia serius bu”, balas rani, “kelihatanya maksudnya serius, dia juga membawa Hj Sosih untuk menjadi Wali”. Wajah rani membingung, “jika ibu menerima lamarannya, kita akan dibawanya tinggal bersamanya di Jakarta”.

 Pergolakan di hati Rani dimulai dengan bertanya tanya, pemikiran Rani tentang seorang yang baru dikenal, tiba tiba melamar ibunya apakah bisa dipertanggung jawabkan, hati ke hati dipertanyakan, rani memulai berbica pada Darsih, “apakah ibu mencintainya ?”, dengan wajah merah merona malu malu, Darsih menjawab suka pada Suratman, rani mulai berpikir apakah ibunya di pelet, namun selintas rani memikirkan kehidupan keduanya, apakah sudah baik, lebih baik, atau kurang baik seperti halnya masa depan Rani seniri. Lamaran Lelaki itu memberi jalan keluar kepada Keluarga.

 Lamaran Suratman akhirnya diterima Darsih, dengan persetujuan Rani pula, dengan ikhlas dia memberikan ibunya kepada pelukan lelaki asing baginya, dan rani harus rela memanggilnya dengan sebutan Ayah walaupun dia belum tahu, apa dia seorang Ayah yang baik. 

 Pernikahan terbesar diadakan di kampung Darsih, semua orang memberi selamat, semua orang berkata Darsih orang yang paling beruntung, hidup pastinya enak kepenak dengan harta suaminya dimana mana, disana terlihat Kepala Desa yang masam saja seharian.

 Memang Mas Suratman sangat mencintai Darsih sepenuh hati, setelah pernikahan kehidupan keluarga kita lebih baik malahan sangat lebih baik, Tanggung jawab moril dan imoril untuk Darsih dan Rani semua terpenuhi. Ibuku bergaul dengan ibu kompleks yang kaya raya namun agaknya masih kagok, mereka sangat menghormati ibuku,mungkin karena hartanya melebihi mereka, orang orang kota lebih menghargai orang kaya ketimbang orang miskin. Hidupku juga lebih baik, aku meneruskan Sekolah, memakai pakaian bagus, makan makanan enak setiap hari, aku juga dihormati karena anak seorang pengusaha. Mereka jauh lebih menghormati bergelimang materi dari pada manusia. Wajah orang orang kota serupanya seperti tersebut, namun hati rani masih bertaruh, apakah kebahagiaan ini akan kekal.

 Ibuku akhirnya hamil dalam waktu kurang lebih 3 bulan, Ayahku senang mendengarnya, Ayahku membuat Ibu spesial, Bayi yang dikandung buah cinta dari Istri tercinta, perlakuan Ayah kepada Ibu semakin bertambah daan ketat perlindungan, aku pun turut senang mendapat kabar tesebut, mempunyai seorang adik.
Namun tuhan berkehedak lain atas janin tersebut, saat Ibu merasa bosan hanya diam saja di kamar, akhirnya Ibu tidak menuruti omongan Ayahku, saat menuju ke dapur Ibu terpeleset hingga jatuh ke Lantai, Ibu tak sadarakan diri, Ningrum pembantu di rumah yang pertama kali melihatnya langsung menelpon Ayah, Ayah mendengarnya terkejut bercampur kecemasan, lalu Ambulan datang ke rumah membawa Ibu yang mash tak sadarkan menuju ke Rumah Sakit, saat itu aku masih di Sekolah, 

 Ayah depresi setelah mendapat kabar bahwa ternyata Ibu keguguran, seketika ayah berubah setelah kejadian itu, dia lebih emosional, dan kata kata yang keluar dari mulutnya tak dipikir dulu, dari bicara tentang derajat sosial, sampai tentang soal kekayaan, Ibu tak bisa diam dibilang cewek kampung yang gak bisa apa apa, menjaga janin saja gak becus, akhirnya saat itu ibu yang baru kembali dari rumah sakit naik pitam berseteru dengan ayah yang tidak terkontrol karena minuman keras, terjadilah tindak kekerasan, ayah yang kesetanan mendorong ibu hingga terjatuh bebas ke lantai, langsung aku mengampiri ibu yang tak berdaya sambil melihat ayah yang terdiam saja melihat ibu jatuh, api kebencian berkobar kobar dari dalam diriku, sifatnya asli baru terlihat jelas, keramah tamahan dan kecintaannya hilang bersama rasa percaya.

 Aku membawa ibu ke tempat tidur untuk berbaring, saat itu ayah langsung pergi entah kemana, aku melihat wajah Ibu yang sangat letih, seperti memaksakan hidupnya untuk menyeterai gaya hidup suaminya yang bukan dari dalam hatinya. Aku meresakan hal itu setelah pernikahan dan hidup di Ibukota. 

 Akhirnya ibu sadar lalu menatap lama wajahku sambil memegang erat kedua pipiku, “wajahmu tak bisa dibohongi ran, kamu sebenarnya tidak suka dengan keputusan pernikahan ibu dengannya, tapi kamu coba memaksakan diri untuk kebahagiaan keluarga”, keduanya menangis dengan air mata membanjiri pipi mereka, “kekayaan tak selamanya membuat manusia selalu bahagia” ujar Rani, Darsih menjawab dengan kesedihan mendalam, “Aku terpaksa mencintainya dan menikah dengannya agar hidup kita bisa lebih baik, aku harus jujur padamu, kamu harapan bagiku, akan kulakukan apapun untuk membuat anakku bahagia”.



 
                                                                                                               Tangerang, Banten


Tuesday, September 3, 2013

DI SEBUAH BATU PANTAI (CERPEN)

Unknown


 Angin berhembus kencang menerpa tubuhku yang sedang berdiri memandang lautan yang luas, langit memberikanku tambahan keindahan yang agung hingga air pasang bergoyang goyang ibarat sedang menari bebas menerjang perahu yang kunaiki. Perahu menempuh perjalanan pulang, ikan ikan hasil tangkapan terisi penuh, memberikan suasana para nelayan riang hati. Esok lagi kita akan pergi melaut, merasakan lagi desir angin, ikan ikan yang terlihat di permukaan, dan kapal kapal besar yang jauh dari pandangan, mengisyaratkan lukisan pada kesehariaan Nelayan.

 Senja terlihat kuning menderang, cukup menyambut kami yang sampai di tujuan tepat waktu, angin terlalu kencang bertiup, hal ini akan melahirkan badai badai yang justru merugikan kami, kami mengikat perahu di sebuah balok besar, agar perahu tidak terobang ambing, lalu kami semua membawa hasil tangkapan kami ke gudang es milik Abah Okem, agak tidak berbau busuk esoknya hingga bisa terjual, dan kami pun berpisah pulang.

 Namaku Badul biasa dipanggil oleh sekelompok nelayan Adul, aku tinggal seorang diri di Dunia ini, Bapakku telah lama mati dilautan, Jasadnya sampai saat ini belum ditemukan, Ibuku mati karena penyakit yang telah lama diderita, kita tak punya uang banyak saat itu untuk membeli obat, Ibu menahan saja sakitnya sendiri hingga akhirnya dia tidak kuat menanggungnya. Seorang pemuda sepertiku seharusnya mengenyam pendidikan yang baik. Aku lulus SD saja, SMP dan SMA tidak aku lanjutkan karena biaya, keseharianku hanya membantu ayah yang seorang Nelayan, sekarang aku menggantikan pekerjaannya sekaligus menghidupi diriku sendiri.

 Aku disebut pemuda yang baik hati oleh warga di kampung kecil ini, banyak hal yang dilemparkan kepadaku, aku sering membantu membetulkan rumah rumah mereka yang diterpa angin kencang dari laut, rumah rumah disini terbuat dari bilik bilik seadanya, dibangun dengan seadanya pula, jadi setiap musibah itu datang, kami siap apa yang harus kami lakukan, yang terpenting kami bisa hidup dan mencari makan.


 Esoknya kami kembali melaut, harapan kami tangkapan hari ini lebih banyak dari kemarin, harapan setiap orang itu sama, berharap esok lebih baik, kita melaju bersama Nelayan yang lain dengan wajah penuh penasaran akan menangkap seekor apa, perahu masing masing berlayar menuju arah berlainan, 

 Laut memberikan harapan, memberikan kami pencerahaan, menentukan arah kami, membagi segala yang ada di bumi ini, tuhan memberikan segalanya, jika manusia bersyukur dan menghargai, kita tidak akan sia sia.

 Ketika sampai di tengah lautan kami melempar jaring ke laut, di tengah laut seperti banyak ikan, karena kedalaman ikan ikan lebih senang berkumpul, aku memandang pada sebuah Kapal Besar pada jarak yang jauh. Kapal yang besar mengangkut banyak orang disana, membawanya ke Pelabuhan, hatiku berkata orang orang itu mungkin berkeluarga, ada yang membawa anak, ibu, dan bapak, sesaat aku menghayal selalu ingin berpetualang dengan ayahku menggunakan Kapal Besar ke penjuru dunia, mencari amanah, memuaskan diri, dan menjalin keeratan, sungguh itu yang kuharapkan jika selurh keluargaku masih ada, Ibu pun bisa memasak didalamnya, yang tentunya makanan berbahan pokok ikan, tidak sampai hati memikirkan yang lain, cuma khayalan tingkat tinggi.

 Setelah sekian menunggu, kami tarik jaring itu ke permukaan, dan hasilnya lebih banyak dari kemarin, semua kawan di perahuku terlihat riang, dilihat dari hasil tangkapan, pendapatan yang didapat juga akan lebih banyak, tidak puas dengan ini kami mencari lahan menangkap lagi.

 Lain cerita di pelabuhan, orang orang datang dari berbagai tujuan dan asal, menginjak daratan menempuh perjalanan ke Kota, memiliki banyak pembekalan, terjun mencari pekerjaan, ada yang sehabis berwisata dengan berbalut wajah senang nan puas, berbagi cerita kepada sesame penumpang, ada juga yang  masih bertanya tanya di dalam hati. 

 Satu keluarga empat kepala, Bapak Darto, Ibu Darto, Kaka Amel, dan Dik Sayuti, menaiki sebuah taksi menuju ke rumah kesayangan sehabis berlibur selama seminggu ke pulau batam rasa lelah dan ria bercampur dengan rindu pada rumah. Taksi melaju pandangan pelabuhan menjauh dari sisi jendela sebelah kanan Dik Sayuti memandang suasana. 

 Sesampainya di rumah, Kakak dan Adik itu berburu masuk kerumah menuju kamar masing masing lalu membaringkan tubuhnya di tempat tidur yang empuk, Bapak dan Ibu darto duduk santai di ruang tamu sambil bercakap ditemani suasana rumah yang hening.

 Badul pulang dengan hasil tangkapan, Badul dan yang lain sangat senang. Ikan ikan  yang ada di sebuah ember berloncat loncat seperti ingin berenang kembali ke air, Dermaga sudah terlihat dari pandangan, hasil kerja hari ini cukup memuaskan bagi kami. 

 Di dalam rumah, Badul menghitung pendapatan hari ini, dari hasil penjualan ikan, dia merasa cukup untuk sekedar makan dan menyisihkan sedikit demi sedikit untuk di tabung, Badul mulai berdoa mensyukuri dan meminta rezeki kepada Tuhan, dia tak akan henti berdoa setiap hari, harapan pada harapan Badul selalu optimis mendapatkan kehidupan yang lebih baik
.
 Cuaca malam itu, mendadak berubah, angin kencang bertiup sangat keras, pikiran para Nelayan akan terjadi badai besar di lautan dan mulai menghatam kampung kita, namun beberapa menit angin berhenti, dan suasana menjadi sepi tentram begitu saja, tak satupun dari warga memberi firasat aneh, hanya saja mereka menhentikan firasat tersebut, agar semua baik baik saja.

 Badul kembali ke dalam rumah setelah mengawasi lautan sedemikian dalam, Badul berpikir akan datang musibah tersebut, jika terjadi dia akan lari membawa beberapa pakaian dan uang, berlari sekencang kencang bersama warga yang lain.


 Hari baru mulai datang rutinitas kembali berjalan, Daratan menjadi terang diberi cahaya kekuatan oleh Matahari, orang orang menjalani kegiatan masing masing, di Kota dan di Kampung terlihat ramai, tak kalah juga di lautan yang misteri, Perahu Badul berlayar lantang menelusuri kekayaan Maritim di Negara ini.

 Rumah keluarga Darto terlihat longgar, Ibu Darto menjadi rumah tangga yang baik menjaga rumah dan membereskannya, Pak Darto pergi bekerja, Kaka amel dan Dik sayuti menikmati pendidikan untuk kelak masa depan mereka, 

 Kaka amel semester 8 di Fakultas Ekonomi, Dik sayuti baru semester 3 di Fakultas Hukum, keinginan yang berbeda serta cita cita mereka yang tinggi, penuh dengan kekuatan hidup yang keras, mereka fokus mengejar mimpi dan masa datang.

Badul merasakan langit menggambarkan keanehan, dari arah depan perahu, langit berwarna gelap, hembusan angin datang tiba tiba menerpa tubuh kawanan nelayan, firasat aneh mewarnai perjalanan, para nelayan menghentikan tujuan selanjutnya berniat memutar arah, Badul takut akan gelombang besar menghujam kapal, dengan cepat Perahu mereka kayuh, namun Badai terlalu cepat datang dengan gelombang air laut yang besar, seketika semua Perahu terhantam air, terombang ambing di lautan, kawanan yang lain terhanyut arah berlawanan, ada yang mencoba berenang menyelamatkan diri dengan mencari sisa perahu yang mengambang agar tidak tenggelam, hari titu semua berganti kedukaan, nasib mereka entah bagaimana, keterampilan meraka berenang terbatas untuk di lautan yang besar ini.

 Berita televisi mengatakan cuaca hari ini akan bertiup angin besar bersama hujan yang deras, musim sudah berganti, hujan deras pun datang  ke daratan, aktifitas semua terhenti , orang orang terdiam meneduh di Rumah, Kantor, Halte, Kampus, dan Sekolah.

 Dik sayuti tertahan di Selatsar kampus karena hujan. Kaka amel pun serupa mereka tidak bisa kemana-mana padahal mereka segera ingin pulang, karena mata kuliah sudah habis di sore hari ini, mereka segera ingin melepas lelah, rumah lah solusinya.

 Dik sayuti merasakan firasat aneh tentang hujan bersama angin kencang ini, entah kenapa beda sekali perasaannya hari ini, Dik sayuti mencoba menelpon rumah, kemudian diterima oleh Ibu. Dik sayuti mencoba menanyakan keadaan Ibu, namun sepertinya sinyal terbatas, jadi percakapan mereka terputus putus, sebab cuaca yang buruk melanda Kota. 

 Pak darto juga mencoba menanyakan keadaan Istri dan Anak anaknya, dengan menggunakan telepon genggam mencoba menghubung satu persatu, memuaskan rasa penasaran akan kondisi orang orang yang dicinta.
 
 Ibu darto di rumah terlihat gelisah , hujan tak kunjuung reda, angin bertiup sangat galak sekali, sampah sampah di jalanan berterbangan membawa suasana semakin mencekam, langit makin gelap menambah suasana seram, petir menyambar nyambar dengan kerasnya.

 Kondisi  di Pemerintahan terlihat sibuk, mereka mendapat kabar dari Badan Meteorologi dan Geofisika setempat, cuaca hari ini berdampak buruk, karena hujan dan angin berlangsung sangat lama, mereka mengidentifikasikan akan datang gelombang pasang sangat besar dari lautan. Kabar tersebut dipastikan kembali oleh Pemerintah akan kearutannya, jika hal tersebut terjadi Pemerintah akan segera merealokasasikan penduduk ke tempat lebih tinggi.

 Penduduk yang tinggal di pesisir laut, melihat gelombang yang sangat besar menuju mereka, seperti Tsunami segera menghatam daratan, segeralah penduduk pesisir berhamburan melarikan diri, mencari tempat perlindungan.

 Pemerintah segera turun langsung ketika mendapat kabar Tsunami sudah hampir dekat, segera mereka mencanangkan gawat darurat, semua pendudukan panik, meraka dituntun Tentara dan Relawan menuju bukit paling tinggi, kondisi di setiap penjuru penduduk berlarian, ada yang sambil menagis, menggedong anaknya, membawa harta benda, semua berlari menjauhi air.

 Kota porak poranda oleh musibah air bah, anggota keluarga terpisah pisah tak tahu entah dimana, mungkin saat ini hati mereka bertanya tentang sanak saudara yang terpisah apakah masih hidup atau tidak, mungkinkah begitu serempak mereka bertanya tentang kehidupan. Semua sudah terlambah sekejap air meratakan daratan, kabar dari mereka belum juga sampai.

 Tubuh Badul terbawa air menuju pesisir pantai, akhirnya Badul terbangun, Badul terseret seret air pasang yang kuat hingga tak sadarkan diri, syukur dia masih selamat namun disadari sesudahnya dia terdampar di pulau kecil tak berpenghuni jauh dari tempat tinggalnya. Dia berpikir terus apa yang harus dilakukan, setelah bermenit menit berdiri memandang sekitar Badul duduk letih bersandar di sebuah Batu Pantai yang besar, pandanganya ke arah laut samar samar, mungkin akibat terlalu banyak meminum air laut, tiba tiba Badul memuntahkan isi perutnya.

 Dik sayuti berdiri di atas gedung kampus, merintih sedih bersama rekan rekan yang lain, ide untuk lari ke atas gedung adalah inisiatif dari mahasiswa dan mahasiswi Hukum, karena semua sudah terlambat, tak ada waktu untuk menghindari air. Selintas dik sayuti memikirkan keluarganya. Melihat air seakan sedang berlayar di lautan. Nasibnya berkecamuk Kaka amel tidak terlihat di Fakultas Ekonomi yang berjarak tidak jauh, Sinyal telepon pun terputus berita keluarga tak dapat dipastikan.

 Sampai saat ini korban yang hilang dan yang selamat belum bisa diperkirakan, suara ricuh bergemuruh di bukit tempat kawanan penududuk, ada orang yang mencari cari sanak saudara, duduk terdiam dengan muka kosong, menangis keras, dan tentara membagikan makanan bagi korban bersama relawan yang bertugas, musibah ini merenggut semua, tidak ada pertanda sama sekali, hingga malam semakin meninggi, suara suara orang berteriak dan menangis bersatu dan menyerbu bintang bintang merubah langit menjadi kelabu, rembulan yang dulu terang sekarang sendu akibat refleksi tubuh tubuh yang penuh luka serta di dalam hati. Tak ada lagi malam yang indah yang sebelumnya penduduk menunjuk salah satu bintang tersebut, tubuh mereka yang hangat oleh bulan, dan angin menerpa secara alami, hingga tuhan berkuasa harfiah mereka menunggu tanah kering. 

 Masih di sebuah batu pantai, Badul memandang langit, terfokus pada binatang berkelap kelip, sosok ayahnya menjadi fatamorgana di hamparan langit, hingga dia bercakap dengan sang langit dan sang bintang, berkeluh kesah secara lembut, pelan pelan terungkap cerita hidup.

 Dik saryuti tak sempat hati terlalu jauh berujung sedih berkelanjutan, dia bersandar hening di sebuah alas tembok, mencari solusi dan arah jalan keluar akan musibah ini, memikirkan kabar Ibu , Ayah, dan Kakaknya hingga saat ini bantuan tidak kunjung datang, rasa lapar dan kedinginan menyelimuti orang orang di atas gedung.

 Esok hari air meresap ke tanah sehinnga permukaan kering, barang barang berserakan dimana mana, perabotan rumah, sisa kayu, ikan ikan mati, serta mayat dari orang yang tidak beruntung. Beruntung bala bantuan datang mengidentifikasi, Dik sayuti dan rekan yang lain menemukan harapan hingga mereka di bawa ke tempat pengungsian dan mendapatkan makanan serta pengobatan.

 Pulau tersebut memberi gambaran kosong kepada Badul, tidak ada teman sesama manusia, tidak ada seorangpun, hanya ada pohon kelapa yang menjulang tinggi, burung brung bertebangan di atas kepala, apapun itu mereka memilik bahasa tersendiri, tak sama dengan bahasa Badul.

 Batu pantai menjadi curhatan Badul terhadap apa yang dia rasakan, menulis dengan batu kerikil dengan keras, mencorat coret meluapkan isi hatinya sebagai bukti dia pernah menjadi penduduk satu satunya di pulau ini akibat terseret ombak, tulisan tersebut berisi bagaimana dia bisa sampai kesini secara lengkap hanya sebagai pelipur lara. Kawanan lain yang terseret ombak kabarnya tak tahu keadaannya sampai saat ini Badul bertanya tanya. Rasa lapar dan haus Badul hanya meminum air kelapa yang dia petik dengan berusaha keras memanjat pohon tinggi, Badul optimis dia akan hidup, dia merasa bukan ini akhir hayatnya.

 Tiga hari kemudian badul ditemukan oleh Petugas Patroli Laut dalam keadaan lemas bersandar di batu pantai, kelaparan dan kedinginan membuat Badul hampir mati, lalu petugas membawanya ke perahu membawanya ke pengungsian. Petugas mendapatkan kabar bahwa ada beberapa Nelayan yang berlayar di hari musibah itu terjadi, sehingga mereka memutuskan untuk mencari korban yang selamat.

 Badul akhirnya membuka mata melihat sang awan berlari, terdengar suara mesin motor, terkejut Badul sudah perahu, bersama petugas, lalu Badul memaksa menanyakan tentang keberadaan kawanannya, jawaban petugas membuatnya kembali terbaring, bahwa hanya dia yang ditemukan selamat, yang lain tidak terselamatkan dan ada juga yang belum ditemukan jenajahnya.

 Di tempat pengungsian Badul diobati oleh tim medis, keadaan pun sama masih banyak korban yang perlu diobati. Di pengungsian penduduk bercampur aduk dengan segala jenis kondisi, keadaannya seperti pasar yang ramai. Badul hanya terbaring, menatap ke arah langit, dan menjawab sendiri pertanyaan pertanyaan disaatBadul hampir diambang kematian di pulau tersebut.

 Dik sayuti yang sudah agak sehat membantu korban korban yang memerlukan bantuan. Tujuan pasien terakhir Dik sayuti menghampri Badul memberikan obat, Badul yang sedang diinfus tersebut menatap ke arah wajah Dik sayuti mengajaknya bercakap. Badul menanyakan keadaan kota dan kampung nelayan, Dik sayuti memberikan informasi kepada Badul dengan wajah sendu, bahwa semua menjadi amburadul, sisa yang ada hanya serakan sampah beserta tumpukan mayat semua tak terkendali saat hari itu laksana hari kiamat, keluarganya pun tidak ada yang selamat hanya Dik sayuti seorang diri yang berhasil selamat sampai di pengungsian tersebut, akhirnya mereka berbagi cerita panjang dan dalam sekali, keduanya akrab dengan penderitaan, kehilangan, dan kegelisahan.


* Mengenang Tsunami Aceh 26 Desember 2004



Jatinangor, Jawa Barat

Catatan Penulis & Arsip Pribadi

Powered by Blogger.

Instagram

Popular Posts

Contact Us

Name

Email *

Message *

Pages

Like us

http://melanialysandra.blogspot.com/

About me

Nama : Helmi Agusrizal Place/Date of Birth : Jakarta/august 02, 1988 Sex : Male Citizenship : Indonesia Marital status : Married Religion : Moslem E-mail address : Helmi.agusrizal@gmail.com Address : Pondok Budiasih (Saluyu), Jl. Ahmad Syam, Kampung Ciawi, Desa Cikeruh (RT/RW 02/04), Jatinangor – Sumedang, Jawa Barat. 45363 Phone : Mobile (081214613112) Formal Education : 2006 – 2010 IKOPIN, majoring in human resourch management, Jatinagor-Bandung 2003 – 2006 Senior High School in SMA YUPPENTEK 1 Tangerang, Banten-Serang 2001 – 2003 Junior High School in SMPN 19 Tangerang, Banten-Serang 1995 – 2001 Elementary School in SDN Dayung Tangerang, Banten-Serang 1993 - 1995 Kindergaten School in TK Nurul Islam Tangerang, Banten-Serang

Facebook

http://delighthomegarden.blogspot.com/

Entri Populer