Tuesday, August 27, 2013

KOMA (CERPEN)

Unknown


 Setelah Koma yang kualami, semua berubah 180 derajat, tak seimbang dengan apa yang kualami sebelum ini, tabrakan maut itu merenggut semua yang kumiliki, anak, istri, dan harta, aku tak perdaya dibuat oleh kuasa tuhan, demi yang lalu aku merasa berdosa, orang-orang yang kutipu, orang orang yang kukuras, dan janji yang sudah kuingkari.

 Hasil Rontgen dari pihak rumah sakit, kepalaku terbentuk keras pada Dashboard mobil, sehinnga batok kepalaku retak, aku harus mengalami tak sadarkan diri selama 3 bulan penuh, disana yang kualami adalah pengalaman mendekati mati, suara suara masa lalu, merintih tangis istriku, anakku yang gontai tak mengerti, dan gambaran gambaran akhirat, aku tak tahu apa itu artinya, semua terasa hening, sepi, dan seketika aku menyadari segalanya yang ada padaku.

 Ada sesuatu yang kuingat saat masih menjabat di Kantor Bupati, ada banyak yang menghinaku sangat keras, menyudutkanku masalah korupsi hingga pecat dari jabatan. Aku merasa tak peduli saat itu, para polisi dan petugas keamanan huru hara menjaga ketat di depan gerbang masuk, para pendemo memintaku untuk turun dari jabatan Bupati, karena ricuh adanya Anggaran Daerah yang disikat oleh kami. Apa benar bukti yang mereka adili kepada kami ?

  Tahun 2001, aku terpilih menjadi Bupati dengan politik uang, menghipnotis para masyarakat agar memilih kami, pihak kami datang ke desa desa menjanjikan kesejahteraan dengan uang muka secara rahasia, kami merekrut orang orang yang sepemikiran untuk menjalankan tugas ini, mudah mencari orang orang yang merelakan apapun demi uang di negeri ini dalam status atapun, gejolak kami saat itu membara, rasa optimis akan menang tak lagi bimbang. 

  Aku tahu apa yang aku kerjakan selama ini, aku sadar betul seorang Ayah yang ingin membahagiakan Istri dan anak-anaknya, perlu mati matian membanting tulang membangun dari fondasi bawah sampai atas, cara yang kukerjakan mungkin perlu jalan pintas agar kemakmuran cepat selesai, aku sadar betul, aku bermain main dengan amanat dan konstitusi, sekejap semua itu tergantikan oleh ambisi untuk merauk keuntungan besar, keuntungan pribadi dan tim, hingga kujalankan semua pekerjaan menjadi Bupati secara “benar” .

 Wakilku adalah salah satu pemikir untuk hal curi mencuri uang rakyat, bekerjasama mengangkat nama satu dan yang lainnya demi duduk disini, tidak mudah untuk seseorang duduk disini, pertarungan jiwa dan materi telah berlangsung selama ini. Gedung ini meyakinkanku bahwa semua yang kukerjakan tak akan sia sia, jika sampai aku habis masa jabatan, kekayaan akan terus mengaliri kami.
Teori itu benar benar terjadi namun sesekali ada yang beruntung ada yang tidak beruntung, berakhirnya di penjara. Penjara satu satunya tempat paling menakutkan di dunia ini, tak kalah dengan rumah hantu berisi 1000 jin jahat, penjara adalah nereka kehidupan di dunia, “itu logis”.

 Mengingat kembali kejadian tersebut, akan mengungkap lirih kecelakaan tersebut, masyarakat yang datang memaksa masik ke kantor untuk menghakimi kami, membuatku memutuskan untuk menghidari dengan menyulinap keluar lewat pintu belakang, ajudanku membawa kami menuju mobil dinas untuk mengamankan kami.

 Di perjalanan nasib kami tidak beruntung, mobil yang melaju kencang tidak menyadari bahwa lampu merah menyala, mobil terus melaju karena orang orang yang mengatas namakan “peduli rakyat kecil” sudah ingin mengeroyoki kami, akhirnya tabrakan tidak bisa dicegah, hingga truk pembawa pasir itu menabrak sisi kanan mobil kami, terombang ambih lah kami disana seperti kapal yang terserang badai, dan pasir pun bertaburan di jalan karena guncangan, pasir itu ibarat ingin mengubur kami disini.

 Kabar terdengar hingga kerumah kami, istri Bupati beserta istri Wakil Bupati pingsan ditempat masing masing sebab terkejut medengar. Sirene ambulance terdengar lantang di jalan raya menuju rumah sakit, aku sempat berbicara kepada petugas medis yang membawaku, “bilang pada rakyat yang berdemo “maafkan kami”, kata kata itu terakhir yang kuucap dengan sadar, setelah itu aku berbicara dengan seseorang yang tak kukenal dengan sekeliling gambaran gambaran masa lalu.

 Nasib wakil bupati tidak beruntung, beliau meninggal di tempat karena pendarahan yang begitu banyak, ajudan yang ikut mengalami patah tulang, supir mobil yang kami tumpangi tewas juga. Kejadian siang itu disaksikan para warga pendemo juga, entah apa yang mereka pikirkan.

 Media setempat memberitakan kami, kecelakaan kami jadi rubrik terdepan, dan laba harian berbagai harian umum melonjak drastis karena berita kecelakaan kami, makian makian kepada kami terlontar di surat kabar, di berbagai penggalan berita, kecelakaaan ini satu satunya yang bukan berita duka, tetapi seperti kabar gembira bagi para pembaca.

 Perombakan kepemerintahan sedang berlangsung, Bupati dan Wakil Bupati sedang diseleksi, warga setempat berantusias memilih calon yang jujur dan anti korupsi, bagaimanapun era sekarang ingin sekali memperbaiki pemerintahan, tidak adanya kecolongan kecolongan agar tidak adanya pemimpin yang hanya memikirkan diri sendiri, pemimpin adalah yang punya hati nurani, yang peduli masyarakat, yang peduli sama perkembangan daerah, dan lagi “nggak rakus” begitu teriakan beberapa warga.

 Hari demi hari Bupati dan Wakil Bupati sebelumnya terlupakan oleh warga, semua mengamati kepemimpinan yang baru, ternyata yang baru jauh lebih baik dari kami. Bupati sebelumnya ternyata bersalah dengan adanya bukti dan oknum oknum yang tertangkap basah membantu. Pihak kepolisian belum bisa menahan Bupati, karena saat itu masih keadaan koma, apalagi Wakil Bupati, beliau sudah dimakan cacing.

 Semua kekayaan kami disita oleh pemerintahan, kala itu Istriku tak sanggup menahan derita itu, dia membawa anak anaknya pergi kerumah orangtuanya, disana lebih baik lagi pula dia tidak punya apa apa lagi, tempat berteduh pun tidak ada, dia bisa melupakan semua hal terjadi di rumah orang tuanya. Istriku yang malang mungkin tak kuasa mencurahkan emosi, karena semua ini terjadi karena ulah seorang suami yang serakah. Tidak ada pertimbangan kadang kadang dia melampiaskan emosinya pada anak anakku, ibunya yang selau meredam saat sedang kesetanan, Apalagi ditambah hujatan warga pun tak bisa dia elakan, kadang malam hari dia menagis karena mengingat ingat.

 Setelah pulih dari koma aku dijemput kepolisian yang ingin memasukan ke kandang, kandang penjara yang bau semerawut. Aku tidak mungkin diadili di pengadilan, aku akan dibakar hidup hidup jika terlihat ke publik. Penjara tempatku selanjutnya, tidak ada yang lebih baik selama berbuat dosa.

 Penjara adalah pembalasan berarti bagiku, disana aku temukan beberapa penerimaan yang tidak enak, tak mampu kuungkapkan, aku hanya memaksa diri untuk kerasan tinggal disini, begitu juga yang lain, kasus kasus bervariasi berkumpul semua di penjara ini, tidak ada kehormatan, tidak hak, meskipun meronta, petugas seperti malaikat pencabut nyawa, tak ada belas kasihan bagi kami, jika begini aku ingin sekali kembali koma.

 Di penjara kerjaanku hanya menulis surat untuk istriku setiap hari, meminta kertas dan pulpen kepada pihak penjara, untungnya ada toleransi, kutulis semua yang kurasakan setiap hari, kutulis begitu saja, rasa rindu, rasa benci, rasa berdosa, ironi sekali bercampur saat menulis.

 Aku tak bisa mengharapkan semua surat terkirim, hanya saja harapan bisa langsung diterima tangan istriku yang lembut, semoga pihak penjara memiliki hati nurani bagi diriku yang telah merugikan semuanya, sambil mengingat anak anakku yang masih lugu, mereka korban korban kekuasaan yang majemuk, rasa sesal tak bisa lagi kuhilangkan, sebagai seorang ayah yang melindungi semua keluarganya tak lagi aku lakukan.

 Kepermintahan yang baru disanjung sanjung oleh masyarakat, menemukan tokoh kepemimpinan yang bersih, adil, dan peduli daerahnya, dari bukti di lapangannya dan segala aspek yang ada memang berkembang secara pesat, kinerja pemimpin yang baru bisa dikatakan sukses, adanya kabar bahwa Bupati yang baru akan maju dalam sebagai Gubernur tahun depan diangkat ke publik secara panas, menjadi topik pembicaraan yang tinggi. Para warga banyak yang mendukung kabar tersebut, semoga Provinsi tersebut menjadi lebih baik merata sampai ke sudut sudut daerah, layaklah Bupati yang baru tersebut maju ke jenjang lebih tinggi.

 Dalam sambutan Bupati yang baru saat saat acara ulang tahun Kabupaten, Bupati menyunjung tinggi pemerintahan yang bersih dan peduli masyarakat, lagi lagi masyarakat bersorak, “hidup Pak Bupati”, ada juga yang meminta air dan makanan, sambutan Bupati seperti Euforia bersama gabungan suara rakyat yang hadir. tak lagi ada kalut didalam hati para warga semua antusias memilih lagi jika Bupati ini mencalonkan lagi periode akan datang. Optimis datang di berbagai pihak, tak ada lagi pemimpin yang curang dan maruk. Kabupaten menjadi berkembang tak kalah dengan lainnya. “hidup Pak Bupati”

 Tak satupun yang menjengukku dipenjara, melihat keadaanku disini, besar hasrat ingin bercerita berbagi keluh kesah dengna sanak saudara, setiap pagi, siang , dan malam ibadahku dibuat lebih baik lagi, lantunan doa yang hening bergumam dimulutku, tak ada yang mendengar doaku hanya aku yang mengerti, aku memerlukan tuhan saat ini, dengan kuasanya pasti semua bisa berubah, mana mungkin dengan secepat itu, penebusan dosa perlu untuk mendapat hidayah, aku tak kuasa merasakannya, sulit bagiku menerimanya, pikiranku rumit, aku tak tahu apa yang terjadi, keputusan belum final.

 Di pengadilan akhirnya aku diadili, disodorkan bukti bukti kelam ketika aku menjabat, para saksi duduk terpaku dengan wajah pucat pasi, dari sudut dibelakang terlihat Ayahku dan Ibuku yang sudah renta tak tahan menahan air mata, disampingnya ada Istriku tercinta beserta anak anakku.

 Setelah lama proses pengadilan, kunjunglah keputusan hakim diketuk, seumur hiduplah aku dipenjara, wajahku yang pasrah dan kepalan tanganku yang kuat sebagai saksi lain saat itu, tak berdaya duduk menghadap meja keadilan, Keluarga mulai menguncurkan air mata dengan deras, beberapa Wartawan meminta pernyataan kepada Keluarga, ada yang memotret suasana pengadilan dengan Focus Utama Diriku dan Keluargaku. 

 Usai dengan keputusan tersebut aku dibawa petugas kembali ke penjara, dan Keluargaku pulang ke rumah masing masing, tak henti wartawan meminta pernyataan keluarga sampai ke lahan parkir.

 Sampai kembali ke penjara wajahku semakin suram, duduk tersudut bersampingan dengan sebuah tembok, aku sempat menatap, saat keras dengan coretan acak, sempat berbicara dengan bahasa ketakutan, tak sampai hati mengambil jalan pintas yang ada di kepalaku.

 Istriku akhirnya mendapatkan beberapa surat dariku dipenjara, istriku sebenarnya enggan membuka surat tersebut, karena akan menimbulkan rasa sedih sekaligus rasa benci yang memuncak, setelah pertimbangan yang memakan beberapa detik akhirnya istriku membaca suratku.
Isi suratku begini :

Untuk Maya Istriku tercinta beserta anak anakku

Aku tak tahu apa yang harus kutulis, semua ini salahku dan aku sadar harus menerimanya walaupun ini sangat pahit dan berat. Dalam surat ini aku hanya meminta maaf kepada kamu dan lainnya walaupun kesalahannku sangat besar hingga berhasil membuat keluarga hancur berantakan. 

Kamu harus tahu, aku sudah merasakan penyiksaan yang amat besar di penjara, kalau aku mengambil jalan pintas, janganlah kau sesali dan tangisi itu, kamu bebas mencari kehidupan baru lagi, aku sudah tidak berguna.

Aku menulis surat ini beberapa kali dengan isi yang sama dengan kata yang sama pula, aku tak tahu lagi harus mengatakan apa.

 Periode selanjutnya Bupati yang sebelumnya sukses lagi memimpin Kabupaten kami, dengan desakan permintaan dari banyak pihak, beliau tidak mencalonkan menjadi Gubernur, dan sukses menata Kabupatennya lagi.




Jatinangor, Jawa Barat


Thursday, August 22, 2013

NYONYA BAIK HATI (CERPEN)

Unknown


 Dirman bergegas pergi seperti sedang terburu buru, meninggalkan rumah menuju mushola, sebentar lagi ashar menjelang, dia harus mengumandangkan adzan untuk memanggilkan para warga agar bergegas shalat ashar ke mushola bersama sama. Dirman duduk di sajadah urutan depan setelah mengumandangkan adzan muka dirman tertunduk mulut komat kamit tapi tidak keras, Dirman sedang berdoa saat warga belum ada yang datang.

 Dirman memimpin shalat ashar, dengan bacaan shalat lengkap, para warga senang kalau dirman selalu menjadi imam shalat, selain dia hapal semua surat al quran , cara menyampaikannya juga membuat tenang, shalat menjadi khidmat dan semua menjadi nikmat, sehabis shalat para warga mengobrol dengan Dirman, para warga senang mengobrol dengan Dirman karena dia bisa menghasilkan solusi setiap masalah para warga, dia punya bakat menjadi konsultan, caranya begitu lembut hingga sehabis kita bercerita solusi datang dan masalah perlahan ada jalan keluar, Dirman seorang merbot tapi seperti sunan atau kyai yang menjadi pemuka agama di sekitar Desa Jeruk, semua datang padanya.

  Kehidupan dirman cukup sederhana, selain jadi merbot dia juga berdagang di rumahnya, warung sederhana tapi banyak pembeli, selain di jaga kebersihannya, banyak juga yang datang hanya mengobrol, seiring mengobrol perut lapar dengan itu mereka membeli makanan yang dijual.

  Istri Dirman sudah lama meninggalkannya, karena alasan ekonomi Susi rela meninggalkan dimana dengan anak satu satunya Wati, masa masa sulit itu sudah dialami Dirman 2 tahun yang lalu, tak ada jalan lain kecuali bertahan hidup, dia harus menghidupi anak paling disayanginya, agar kelak dia lebih baik dari nasib ayahnya.

  Kehidupan desa jeruk di pinggir kota Jakarta lumayan tenang, mayoritas pekerjaan para warga adalah pedagang, biasanya pagi pagi sekali beberapa warga yang mencari pendapatan di Kota, berangkat bersama bersama ketika pagi maupun yang lebih awal, suara adzan subuh yang terlantun dari suara Dirman sepertinya menyemangati mereka satu persatu seperti udara yang dihirup dan tulang kaki mereka.

 Kadang kadang Dirman selalu mengingat susi ketika dia bangun subuh hari, mengingat senyumnya mengingat perjuangan, mengingat saat dia mengawininya di kampung, dan bersama bersama pergi ke kota atas persetujuan bersama, Dirman pergi kekota membawa istrinya karena alasan ekonomi, dia berpikir Ibukota mungkin akan membuatnya bahagia, dia tidak meminta lebih pada Tuhan, dia meminta agar istrinya dan kelak anaknya berkecukupan, tapi Tuhan berkata lain, Dirman memiliki rintangan yang luar biasa selama di jakarta, sangat berat bagi Dirman kalau diketahui, tapi dari kesehariannya seperti selalu optimis saja.

 Ingat kampung Dirman selalu mengirim surat kepada orang tuanya disana, beberapa rupiah selalu dia kirimkan, dari hasil berdagangnya, selalu mensyukuri selalu mensyukuri itu Ucap Dirman, tak banyak harapan juga dari dirinya, seiring ekonomi sulit dari tahun ke tahun, tidak ada pilihan selain hidup bermandiri dan berusaha, Dirman yang lulusan Smp ini tak tahu lagi mau bekerja apa, dia hanya bisa berdagang kecil kecilan, lapangan pekerjaan juga tidak ada yang menjanjikan untuknya, banyak orang pintar yang menguasai ibukota, Dirman akan ditendang hingga laksana menjadi tanah yang kering tak berguna.

 Desa jeruk bersampingan dengan Komplek mawar putih, dimana tinggal para warga kelas atas, ada  kelas menengah, keduanya dibatasi oleh sebuah tembok beton yang tidak terlalu tinggi, namun ada sebuah pintu agak besar yang mnghubunginya, itu hasil para warga yang bermusyawarah kepada para pengusaha agar bisa berjualan kepada warga Komplek mawar putih juga, warga mawar putih ada yang keberatan dan juga ada yang setuju. Akhirnya hasil mufakat warga desa jeruk boleh berjualan , namun warga siap dengan aturan aturannya, disiapkan pos satpam tidak jauh dari pintu tersebut.

 Mushola desa jeruk yang bernama Al-ikhlas berdiri kokoh, mushola yang berdiri karena swadaya warga desa jeruk dan di bantu warga komplek mawar putih yang baik hati ini, tidak terlalu besar tapi amat berguna. Warga desa jeruk rutin membersihkan mushola setiap hari dengan kesadaran sendiri.

  Sekian dari masalah para warga adalah hak kewarganegaaran, 3 hari yang lalu, datang bos besar dengan ajudannya yang kekar datang ke desa jeruk menemuni kepala warga, Bos tersebut mengatakan tanah desa jeruk adalah milik Negara, warga pun kaget mendengarnya, padahal mereka sudah 20 tahun lebih tinggal disini, warga senior yang sudah lama tinggal, mengatakan kita menang di pengadilan untuk kepemilikan desa jeruk. Mbah parto mengatakannya dengan tegas, salah satu kepala mushola Al-ikhlas ini, dengan berapi api menatap para Bos tersebut, para Bos berkelak dengan keterangan Mbah Parto, “tanah ini milik Negara, tanah ini akan dibangun tamam rekrersi untuk warga ibukota, kalian para warga yang tidak jelas akan dipindahkan”, Jelas Si Bos, “dipindahkan kemana pak ?” salah satu warga membalas, “bukan kami yang urus, ada yang urus nanti” ucap Bos berkumis tebal tersebut didekatnya ada ajudannya menatap tajam.

  Hari itu jadi bagian tersedih bagi para warga desa jeruk, dirman menuduk sepi, dia memkirkan anaknya, memikirkan pekerjaan, memikirkan tetangganya, sulit sekali mendapatkan keadilan sebagai warga, Dirman bercerita mendapatkan kartu kependudukan saja sulit, dia harus berembuk bersama warga dengan modus berbohong dengan mengatas namakan alamat palsu agar mendapatkan kartu penduduk, Dirman tak bisa apa apa, ikut saja, hal itu terjadi 2 tahun yang lalu. Menjadi warga pinggiran memang dirasakan Dirman dan warga lain,  

******

 Kehidupan warga komplek mawar putih kontras dengan desa jeruk, penuh berkecukup dengan kemewahan, tak peduli hasil dari mana, terpenting perut dan keluarga senang, ada salah satu pemuka agama yang tinggal disitu yaitu Pak Broto biasanya dipanggil Pa Haji Bro senengnya dipanngi itu, haji 5 kali selalu dia banggakan kepada warga lain, Istrinya yang parlete selalu memakai kalung dan gelang yang berselimut emas, secara percaya diri memakainya ketika arisan warga, gaya bicaranya yang sok menunjukan pengeluarannya dan pemasukannya secara umum membuatnya terlihat “wah” bagi para warga mendengarnya, sesama parlete mungkin Siska bisa diterima. 

  Para warga desa jeruk sedang rapat kecil kecilan di rumah Pak Godek, Pak Godek dipercaya para warga menjadi ketua rukun warga, rukun tetangga dipercaya Pak Bontot, keduanya baik hati, jujur dan selalu mikirkan warga. Pak Bontot mengusulkan untuk meminta bantuan kepada Pa Haji Bro, karena alasan dia seorang pekerja politik, dia seorang anggota DPRD. Para warga yang datang meresapi ide Pak Bontot sejenak, ada yang menceloteh memang bisa seorang Pa Haji Bro menolong kita, lihat istrinya yang belagu sepertinya dia lebih senang mengurus pribadinya dari pada kita. Pak Bontot membalas tidak ada yang salah toh kalau kita datang ke pa haji dan menceritakan keluhan kita, dulu yang begitu menolong kita masalah pembatas tersebut kan paling vocal pa haji, dan urusan kartu penduduk kita sebagian pa haji juga. Siapa tahu ?.

  Setelah berdebat lama, dengan beberapa ide yang memusingkan kepala RT dan RW yang harus mengambil keputusan, akhirnya para warga tidak ada jalan lain selain meminta tolong kepada pa haji Bro. 2 hari yang akan datang, perwakilan desa jeruk akan datang kerumah Pa Haji Bro.

 Dirman yang datang di rapat tersebut, hanya bisa terdiam, mungkin dia tidak mengerti apa yang harus dia pikirkan tentang masalah itu, Dirman banyak diminta solusi tapi dia padam, lukisan wajahnya suram dan hanya mengingatnya anaknya kalau ini terjadi, Dirman tak mau kembali lagi ke kampung, di kampung lebih lagi tidak harapan disana. Ingin mandiri rasanya dia.

******

 Setelah melaksanakan shalat subuh Dirman bergegas pergi ke pasar untuk membeli beberapa kebutuhan yang kurang, “Wati ayah pergi ke pasar dulu, kebutuhan ayah ada yang kurang” Wati yang masih mengantuk tersebut, mengiakan niat Ayahnya, wajah Wati yang bersiram air wudhu semakin manis saja dipandangnya.

 Dirman harus melewati Komplek mawar putih untuk menuju pasar, Dirman bersapa dengan Satpam yang berjaga, “mau kemane bang dirman” sahut Soleh yang berjaga di Pos, “ini bang mau belanja, masih jaga bang?” “ie neh masih jaga ampe jam 6 nanti,”. Setelah bercakap cakap dengan para Satpam, Dirman melewati rumah warga yang megah, Dirman menelan ludah saat melewatinya satu persatu, dia berkhayal kapan punya rumah gedong tersebut, makan aja kadang kadang sulit, cuma mimpi, apalagi sebagian kepikirannya sudah terisi oleh desa jeruk yang ingin dijadikan taman rekreasi.

  Di pasar sudah ramai dengan para warga yang ingin membeli beberapa kebutuhan untuk berdagang, Dirman menyapa beberapa warga yang dia kenal, satu blok dari sana, dia berjumpa Nyonya Ling, pengusaha keturunan Tionghoa ini merupakan pribadi yang baik hati menurut Dirman, dia mata Dirman Nyonya Ling tidak membeda bedakan orang, santun, dan peduli sekitar, salah satu karyawannnya adalah teman akrab Dirman, dia mengatakan Nyonya Ling pernah membantu para orang tua tidak mampu secara ekonomi pergi haji, dan membuat masjid di kampungnya, walaupun Nyonya Ling bukan muslim, tapi dia seorang yang baik hati.

 “Nyonya Ling” sahut Dirman, Nyonya Ling menoleh dan melungsungkan senyumnya kearah Dirman, “eh Dirman elo belanja juga”, “iya Nyonya ada yang kurang”, “elo masih dagang”, “masih nyonya”, “panggil saja oe Ibu”, “jangan Nyonya”, “ah gak enak Bos besar dipanggil Ibu, panggil nyonya biar enak”, “ah elu ada ada aja”, “elu mau beli apa aja”, Dirman menjelaskan bawang, cabai dan beberapa bumbu instant yang ingin dibelinya, “elu beli aja ntar gue yang bayar”, “ah tidak usah nyonya”, “udah jangan malu malu luh, gw yang bayar”, Dirman lebih senang lagi Nyonya ing dermawan, rezeki yang tidak terduga. Akhirnya mereka berdua larut dalam suasan pasar.

  Sepulangnya Dirman ikut dengan mobil Nyonya Ling atas bujukan, “aduh Nyonya Ling di mobil ada sejuk dan wangi tidak seperti rumah saya panas dan bau karena dekat waduk”, “jangan panggil gue nyonya panggil saja gue Ibu”, “oh iya saya lupa Bu”, Nyonya Ling melungsukan pertanyaan, “Man muka lu keliahatan lecek kenape”, “heheh memang begini Bu muka saya dari dulu”, “ah beda aja”. Dirman tak kuasa ingin menceritakan keluhan terbesar itu, ini loh Bu ada masalah di desa jeruk, “masalah ape” balas Nyonya, 2 hari yang lalu datang orang orang yang mengaku bahwa tanah desa jeruk punya Negara, dan akan dibangun taman rekereasi, tapi kami berontak bahwa kamilah yang sah memiliki desa ini.

 Sesampainya di rumah Nyonya Ling , Dirman dipaksa ikut kerumah dan menceritakan dengan detail bagaimana peristiwa tersebut, Dirman datang kerumah Nyonya Ling dengan hati kecil, malu malu melihat isi rumah, sepertinya bukan tempatnya, Nyonya Ling mengajaknya ke ruang tamu, menyodorkan teh hijau dan bapao, “nih Man, buat elu, tenan aja gak ada babinya kok”, Dirman cengangas cengenges. “nah sekarang ceritain deh itu peristiwannya gimana?”.

 Bapak bapak yang mengaku dari pemerintahan tersebut, datang kepada kami, mengatakan jika sebulan lagi para warga tidak mengosongkan lahan ini, warga akan diusir paksa, beliau juga melampirkan surat jalan, dengan begitu para warga campur aduk. Lekaslah diadakan rapat dirumah Pa Rw di hasil rapat itu para warga setuju meminta bantuan kepada Pa Haji Bro untuk meminta bantuan, karena dia seorang anggota DPRD, begitu Bu ling, saya sendiri sejujurnya tidak begitu yakin kepada keputusan, tapi suara yang mendukung banyak sekali,  jadi saya ikut ikut saja, sambil mencicipi bapao.

 Nyonya Ling berpikir sejenak sambil menatap lukisannya dibelakangku, saya pernah mengalami kejadian kayak gini, orang kecil lagi yang menderita, orang orang kaya yang senang, dalam kehidupan saya fakta tersebut selalu terjadi, tuhan gak adil apa manusianya tidak punya tuhan lagi di hati dan pikiran mereka. “Terus elu mau kemana man kalau diusir”,” ya kalau saya mentok mentok balik ke kampung”.

 Dirman meningglakan rumah Nyonya Ling dengan perasaan belum lega, dia berharap Nyonya baik hati bisa mambantu masalah desa jeruk tersebut, rumahnya yang gede terlihat dibelakangku, hasil kerja kerasnya berbuah hasil.

*****

  Hari yang diputuskan sudah datang, dengan wakil dari desa jeruk menemui Pa Haji Bro untuk bertandang ke rumahnya bersama beberapa warga, disana Pa Haji ramah dan menyuguhkan beberapa minuman dan makanan kecil yang belum pernah dicicipi para warga, istrinya yang belagu diam saja duduk disampingnya. “Maksud kedatangan kami kesini untuk meminta bantuan kepada bapak masalah lahan kami pak” ucap Kepala RW, “saya sudah tahu dari beberapa pihak bahwa lahan desa jeruk mau di gusur dan dijadikan taman rekreasi, mungkin saya bisa bantu kalau para warga punya bukti kuat”, balas Pa Haji, kami punya bukti kuat pak kami menang di pengadilan atas kepemilikan lahan tersebut. Itu bisa jadi bukti buat menolong desa jeruk boleh saya minta, boleh pak, fotokopi saja nanti kasih ke saya , simple kan !!.

 Sambil tertawa pa haji berkata, “6 bulan lagi, pemilihan Walikota neh, para warga jeruk pilih saya ya”, sambil bercanda. 

******

 Harapan para warga desa jeruk tidak sepenuhnya berjalan mulus, tetap saja pergusuran tersebut terjadi. Dijalan raya menuju desa, mobil Satpol PP dengan gagah melaju dan petugas petugasnya yang sudah di doktrin otakknya, suasana tersebut terlihat oleh salah satu warga desa jeruk, lalu dengan bergegas menuju lokasi, di lokasi terlihat gemuruh setelah mendapat laporan tersebut, seperti terbit tenggelam, semua warga mengunci setiap rumah masing masing, ada yang ber ide melawan dengan berbekal kayu balok, linggis, ataupun parang. “mana neh Pa Haji Bro katanya mau bantu kita tetap saja kita digusur”, “sepertinya pa haji sedang di kantornya yang ber AC dan menikmati teh manis hangat sambil menonton tv”. 

  Suara keras Mobil Mobil Petugas Satpol PP melewati rumah rumah megah di Kompleks mawar putih, ada yang mendengar tapi acuh diam saja didalam rumah, adapun yang keluar memastikan apa yang terjadi. Sampai di lokasi pertengkaran dimulai, adu bicara dan kekerasan bercampur aduk, tak mungkin para warga menang , petugas lebih banyak. Tanah merah bercampur angin, ayam ayam berlarian, dan suara suara mengerikan menerjang bagai badai hati yang berkemelut. 

  Nyonya Ling mendengar bahwa desa jeruk di bantai, dengan wajah emosi dan menantang, dia menuju desa jeruk dengan kedua anak lelakinya yang baru lulus kulih di Kanada, “Mamah mau apa kesana”, “mamah kan lagi sakit”, “udah jangan banyak bacot lu”, “Gue mau nolongin orang kecil”, kedua anaknya terdiam. Disana keadaan begitu mengerikan sebagian rumah sudah hancur rata dengan tanah, para warga yang tak bisa apa apa, hanya menatap kosong di pinggir pinggir. Terdengar suara keras meneriaki para petugas yang bermuka galak, “eh bego berhenti loh ngejejah orang kecil”, sebagian terdiam, petugas Satpol PP menghampiri Nyonya Ling, “ada masalah bu, “ tukas komandan Satpol PPnya “eh gendut lu yang cari masalah“ , “ memang saya salah apa bu” , “siapa yang suruh elo ratain neh lahan” ,  “ saya dapat tugas , ya saya kerjain “, “dasar robot lu gak ada hati nurani”, “eh ibu siapa ya tiba tiba datang gerutu saya”, “saya peduli mereka, siapa yang suruh elo” , “pemerintah yang suruh saya ci”, “maksud elu apa manggil gw ci ”, “mata Ibu sipit, ya saya panggil ci “, “wah lu nantang gw gendut ?“.

  Suasana semakin rumit, adu debat beraksi dan bereaksi, para warga semakin emosi, karena para Petugas Satpol PP mulai memaki dan menekan Nyonya Ling dan anak anaknya, tiba tiba Dirman menantang Kepala Petugas Satpol PP tersebut dengan bicara di depan mukanya, “pak jangan rasis, dia lebih baik dari Bapa yang orang asli, dia punya hati dan tekad yang lebih kuat untuk menolong sesama secara ikhlas, dari pada Bapa hati dan pikiran bapa gak ada karena disetir sama duit dan jabatan untuk kepentingan perut Bapa sendiri “.




                                                                                                                                  
                                                                                                                                 Jatinangor, Jawa Barat


Monday, August 19, 2013

ROH YANG SELALU ADA (CERPEN)

Unknown


 Satu minggu lagi Idul Fitri segera datang, rutinitas tahunan dengan berbagai gaya permintaan maaf dan silahturahmi, di Indonesia punya gaya sendiri dalam menghadapi hari kemenangan ini. Sebulan Puasa menahan hawa nafsu melawan apa saja yang membatalkan Puasa, kesabaran penuh diuji disini, inilah Bulan suci dimana kita bisa belajar dalam 1 bulan menjadi orang yang berbekal agama sampai akhir hayat, jangan sampai Bulan Puasa ini menjadi ajang pengampunan dosa, mencoba menutup aurat, menjadi Alim yang sebenarnya brutal  seperti lingkungan ku disini, wah munafik masing-masing. 

 Tahun ini masih terasa berat bagiku, bagi mereka juga, walau mereka sembunyikan wajah pilu itu tapi ku tahu sebabnya. Hal yang sebenarnya masih ada tapi tidak ada itu yang kita rasakan, benturan keras dihadapkan pada hati kita masing masing, sungguh ironis sekali, kita tak tahan kalau hidup selalu mengambil beberapa orang kita cintai, kalau tuhan adil, kenapa tidak ambil nyawa penjahat saja. Penjahat hidup lama di Negara ini.

 Ibuku pernah berkata padaku, saat beliau sedang emosi, “nanti liat kalau mama dan papa sudah meninggal kamu baru rasa”, aku terdiam sejenak, beberapa detik berkata, “tidak usah bicara begitu, seperti dibesar besarkan saja” aku membalas tegas, beliau cuma diam, wajahnya yang cantik menoleh kebelakang lalu pergi menghilang.

 Aku hanya tak ingin kata - kata itu keluar dari mulut seorang Ibu, bukan hanya dari Ibuku saja, Ibu – Ibu yang lain juga, kata kata itu seperti petir yang menyambar keras di atas kepala, aku memang keras kepala, namun sedemikian kerasnya aku punya sisi lembut kepada Orangtua, hanya saja Aku penat dianggap sudah jauh dari tuhan. Aku merasa tidak begitu jauh dari tuhan, kewajiban 5 rakaatku tidak rutin itu saja yang dijadikan bahan ibuku saat dia meluapkan emosi, Aku salah tapi jangan terlalu didalami.

 Saat beliau menangis , Aku tak sanggup menatapnya, Aku menuju teras rumah untuk menghirup udara segar, gersang yang kualami, air mata itu yang membuatnya gersang didalam hati dan pikiran, bukan air mata yang dia inginkan, hingga kering tanpa berguna. Hari - hariku biasa saja menemani orang tua di rumah kalau sedang libur, aku bekerja di perusahaan kecil, perusahaan keluarga kerabatku, orangnya baik baik dan penuh manusiawi, sebab itu aku kerasan disini tanpa menghiraukan apapun. 

 Pendapatan yang kuterima tidak begitu besar, beberapa kubagikan kepada Orangtuaku untuk keperluan rumah tangga, tidak terlalu cukup masih ada tambahan dari ayahku, namun ibuku terlihat senang dan bangga saja menerimanya, keluargaku memang penuh cinta damai, cinta dan damai itu semboyan keluarga ini, tidak ada resiko yang bisa dimabil kalo sudah berkumpul, lelucon dan ceplas ceplos kadang kala melebihi intensitas dialog serius , tapi terus saja berlanjut tanpa ada yang tersinggung.

 Kami terpisah pisah, waktunya berkumpul pada saat idul fitri pasti itu terjadi lagi dan lagi, sebentar lagi memang Idul Fitri, aku tak sabar berkumpul dengam mereka disana, tak apalah merasakan lelahnya bepergian namun di akhir tujuan kita bisa tertawa terbahak bahak, seperti tahun tahun lalu. Ayahku juga bekerja, dia seorang pegawai negeri, disamping itu waktu pensiunya tinggal hitungan tahun, beberapa hal yang paling dia takuti terhadap keluarganya banyak sekali, Ibuku takut serupa ayahku, diriku hampir setengahnya berdampak dari takut itu, Adikku juga merasakannya. Umur memang tak akan bisa dihentikan, menjadi muda menjadi gagah penuh petualangan, dan ekspresi, ketika sudah tua hanya menatap jendela duduk di kursi kemudian terbatas memiliki keinginan, kita tak bisa melawan takdir, maha kuasa lah yang bertahta.

 Satu sisi kerasnya Jakarta menjadi mata pencaharianku, mau tidak mau aku harus membanjiri tubuhku dengan keringat dan asap, ketika sampai ruangan aku merasa dinginnya ac “oh sejuknya” ujarku, belum lagi mata mata sinis dimana - mana, ketika ada beberapa karyawan telat, cibir mencibir sering terdengar dari bagian tersembunyi atau terang terangan, merekalah sumber sumber malapetaka, pesaing, maupun tantangan bagi meraka yang mencari sukses di ibukota, sebut saja mereka teman sekerja.

 Akhirnya aku pindah kerja dari perusahaan kerabatku ke sebuah perusahaan besar, bukan karena kemauanku, tapi otak korup sudah menjadikan perusahaan itu bangkrut dan kerabatku gulung tikar. Sudah setahun lebih aku bekerja diperusahaan baru, bertarung hidup di Jakarta, pindahan dari kota yang berudara dingin waktu kuliah membuatku kaget, gugup dan gelisah, sudah lama sekali tidak menginjak Jakarta, setelah lama sekali kurang lebih 6 tahun mengeyam bangku kuliah, rasa Jakarta tak lagi kukecap, datang lagi ke Jakarta seperti ingin muntah saat mengecapnya, perubahan tidak membuat Jakarta lebih nyaman, tetap saja rumit, Jakarta Cuma unggul di satu sisi, lapangan pekerjaan yang luas dan meyakinkan, tidak didesa desa, tidak banyak pilihan, tidak banyak peluang, ataupun karir yang menjanjikan.

 Lama sekali tidak melihat padang sawah yang luas, kicau burung, perempuan desa yang berparas ayu, alami, dan oriental, bercampur dalam suasana hikmat beralun awan awan biru yang merayu kita untuk duduk santai sambil merasakan indahnya alam ini. Serempak semua tergantikan oleh waktu, waktu untuk berjuang menggantikan sosok Ayah dengan sisa waktu setahun lagi menanti masa pensiun. Ayah terlihat masih sehat, tapi pikiran kacau oleh ketakutan ketakutannya sendiri, masih belum terima akan menghadapi masa masa seperti itu, jiwa mudanya masih membara, masih ingin mengejar kebahagiaan keluarganya, Waktu terus berjalan dia akan menjadi tua, dan Ibu lebih cenderung berjiwa besar ketika umurnya menua, beda 180 derajat dari Ayah, tapi Ibu lebih sering marah. 

 Aku punya cerita lama yang tak pernah bisa kulupakan, cerita kehilangan seseorang, seseorang yang menurutku pengganti seorang ibu kandung, ceritanya panjang dan lebar tak mungkin bisa kuungkap dirinya disini, cuma bisa mengenangnya begitu dalam di tempat tidur maupun sehabis doa, segeraku dengar lagu favorit sebelum bercapur air mata. kesedihan tak boleh terlalu lama, biarkan tuhan yang menghilangkan dan melahirkan seseorang, dia yang mutlak mengatur, sambil kulihat isi dompetku 2 hari lagi ku terima gaji bulan ke 16 selama ku bekerja, senang punya punya pendapatan walaupun segitu segitu saja , tapi tetap kusuyukuri, begitu cara mensyukuri rezeki dengan bersyukur, simple kan, tidak repot.

 Sekarang sudah 2 tahun semenjak beliau meninggal, bisa dikata beliau meninggalkan dunia ini secara mendadak, keluarga seperti merasa kaget, disaat semua berjalan baik, tidak ada rasa sakit yang begitu parah sebelum dia meninggal, tidak ada diagnosa yang tersurat dan tersirat dari dokter maupun pertanda pertanda ganjil, tiba tiba saja nyawanya diambil malam itu.

 Seperti seorang manusia yang memaksa pergi dari rumah entah kapan pulang, Beliau pergi dari lingkungan tercinta kami, tanpa pesan, tanpa perencanaan, meninggalkan orang tercinta, lalu meninggalkan kami, orang orang yang punya hutang untuk membahagiakannya kelak saat punya rezeki melimpah, justru sekarang kita yang amat menyesal, selama dia hidup kita selalu mengecewakan, selalu merengek tentang kehidupan, padahal kerasnya hidup akan kita lalui, mau tak mau, itu terjadi saat kita terlahir sudah disipakan jalan tersebut

 Lebaran (Idul Fitri) sudah tiba, semua menuju Masjid untuk melaksanakan shalad Idul Fitri , beramai ramai umat Muslim melaksanakannya, Aku sengaja melaksanakan shalat di Jakarta, karena Kantor baru libur kemarin, dengan khusuk aku melaksanakan Shalat dengan penuh harapan bahwa tidak ada lagi kekecewaan yang datang, dan semu, semua berjalan baik baik saja, meskipun itu sulit dimengerti. Setelah shalat Idul Fitri kami mendengan alunan ceramah dan silahturahmi ke masing-masing tetangga di sekitar rumah.

 Sekitar menjelang sore kami sekeluarga berangkat untuk Silahturahmi ke kampung halaman Ibuku, jarak tidak jauh berbeda dengan kelahiran ayahku, melewati laut dan jalan yang panjang soalnya, butuh biaya banyak, dan menguras tenaga. Setelah semua persiapan terpenuhi kami berangkat mengemudi mobil pribadi milik keluarga, walaupun sudah lama sekali tahun pembuatannya, tidak tahu bagaimana keadaan mesinnya, tapi bisa diandalkan dalam keadaan seperti ini. Semoga saja tidak rewel di tengah perjalanan, semua berdoa kembali.

 Sesampainya disana kita diterima dengan ramah tamah, khas cita rasa keluarga Ibuku yang berdarah sunda itu, mereka teman teman lamaku, selama kuliah aku pernah tinggal disini, cuma setahun, aku memilih cari tempat tinggal di dekat Kampus karena alasan jarak, semua akhirnya membaur dalam kebahagian kecil dan sederhana, semua saling berjabat tangan meminta maaf atas kesalahan yang lalu.

 Kami sekeluarga duduk di ruangan utama, saling berbicara tentang apa saja, riuh dan snada terucap selaras, tawa terdengar keras, lelucon terdengar bisik bisik kemudian mengaung keras, hari ini sangat lelah bagiku tapi terbayar dengan suasana seperti ini.

 Malam ini aku melihat bintang dilangit, rembulan yang menemani bintang kian menawan, langit hitam menjadi mimbar semesta, berkumpul bersama titik titik cahaya yang kadang kadang bersembunyi, seperti kudengar jangkrik, tokek, dan nada air mengalir, suara suara ini mengingatkanku pada seseorang yang telah lama hilang, jikalau dia disini pasti lebih lengkap melebihi apapun itu, kemudian ketika lelah memandang aku kembali ke dalam, untuk tidur, menemui hari esok.

 Pagi menyambut suasana yang seperti biasa telah kualami dulu, Ibuku rindu sekali kampung halamannya, Ayahku juga ikut senang. Kami melakukan rutinitas, membantu menyiapkan sarapan, bersih bersih rumah, dan lain lain, menjelang siang kami akan ziarah ke makam orantua ibuku dan beliau itu.

 Suasana Makam terdiam hening, coretan nama terpampang, bersih terurus dan kokoh, barisan makam ikut menemani tertata rapih, mereka yang telah tiada hanya tinggal kenangan selamanya menjadi kenangan, menuju langit yang abadi, menunggu sanak saudara yang telah tutup usia, aku berada disamping makam Nenek dan Kakek berada disebelahnya, cinta yang abadi, begitu lekat, sakral, dan tak tergantikan, Ibu dan Ayah menetas air mata, aku pun selanjutnya setetes demi setetes, doa terucap dalam hati, untuk Kakek Nenek, aku sungguh mengenalnya, merekalah yang terbaik, mengingatkanku saat masih kecil dibelainya dan diajaknya melihat pemandangan desa yang baru ku tahu.

 Lanjut ke makam beliau, dia pasti yang terbaik juga, Ibuku menyanjungnya, “selalu ingat beliau ya nak” ucap ibuku merdu, “tak akan pernah ku melupakannya” balasku, doa terbaik kuucap untuknya, untuk semua keluarga untuk kebaikan semua, lekasku meninggalkan pemakaman masih dengan air muka masam.

 Sampai di rumah aku mengobrol dengan anak beliau, aku akrab dengannya, teman bermain dari kecil, dia terlihat lesu, lalu aku bertanya mengapa dia bersedih, lugas jawabnya “kangen Ibu”, masih lesu sambil melihat kearah depan, “aku merasa dia masih ada disini” ucapku, dia masih saja terdiam, akhirnya dia bicara, “aku juga merasa”, tapi dia udah tiada bagaimana aku membiarkannya hidup, yang ada malah kesedihan itu berlanjut, semua merasakan sama sepertimu, aku yakin itu, aku tadi melihat lama batu nisannya, lama sekali, aku berbicara dalam hati, kau tahu apa yang kukatakan “maafkan aku tidak menyediakan waktu untuk bertemu”. Sekarang sudah telat, semoganya rohnya mendengar atau dia ada disekitar kita menyimak pembicaraan kita, “dia akan selalu ada disini” balas anaknya dengan air muka serius namun tak bisa dibohongi.


* Mengenang Alm Aneng Nuryamah 1957 - 2012



Sumedang, Jawa Barat

Catatan Penulis & Arsip Pribadi

Powered by Blogger.

Instagram

Popular Posts

Contact Us

Name

Email *

Message *

Pages

Like us

http://melanialysandra.blogspot.com/

About me

Nama : Helmi Agusrizal Place/Date of Birth : Jakarta/august 02, 1988 Sex : Male Citizenship : Indonesia Marital status : Married Religion : Moslem E-mail address : Helmi.agusrizal@gmail.com Address : Pondok Budiasih (Saluyu), Jl. Ahmad Syam, Kampung Ciawi, Desa Cikeruh (RT/RW 02/04), Jatinangor – Sumedang, Jawa Barat. 45363 Phone : Mobile (081214613112) Formal Education : 2006 – 2010 IKOPIN, majoring in human resourch management, Jatinagor-Bandung 2003 – 2006 Senior High School in SMA YUPPENTEK 1 Tangerang, Banten-Serang 2001 – 2003 Junior High School in SMPN 19 Tangerang, Banten-Serang 1995 – 2001 Elementary School in SDN Dayung Tangerang, Banten-Serang 1993 - 1995 Kindergaten School in TK Nurul Islam Tangerang, Banten-Serang

Facebook

http://delighthomegarden.blogspot.com/

Entri Populer